Saturday, September 22, 2007


FIA S.AJI (KANWIL BPN GORONTALO)

Akhir-akhir ini kasus pertanahan muncul ke permukaan dan merupakan bahan pemberitaan di media massa. Secara makro penyebab munculnya kasus-kasus pertanahan tersebut adalah sangat bervariasi yang antara lain :
* Harga tanah yang meningkat dengan cepat.
* Kondisi masyarakat yang semakin sadar dan peduli akan kepentingan/haknya.
* Iklim keterbukaan yang digariskan pemerintah.
Pada hakikatnya, kasus pertanahan merupakan benturan kepentingan (conflict of interest) di bidang pertanahan antara siapa dengan siapa, sebagai contoh konkret antara perorangan dengan perorangan; perorangan dengan badan hukum; badan hukum dengan badan hukum dan lain sebagainya.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, guna kepastian hukum yang diamanatkan UUPA, maka terhadap kasus pertanahan dimaksud antara lain dapat diberikan respons/reaksi/penyelesaian kepada yang berkepentingan (masyarakat dan pemerintah), berupa solusi melalui Badan Pertanahan Nasional dan solusi melalui Badan Peradilan. Solusi penyelesaian sengketa tanah dapat ditempuh melalui 3 cara yaitu :
A. Solusi melalui BPN
Kasus pertanahan itu timbul karena adanya klaim/pengaduan/keberatan dari masyarakat (perorangan/badan hukum) yang berisi kebenaran dan tuntutan terhadap suatu keputusan Tata Usaha Negara di bidang pertanahan yang telah ditetapkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan Badan Pertanahan Nasional, serta keputusan Pejabat tersebut dirasakan merugikan hak-hak mereka atas suatu bidang tanah tersebut.
Dengan adanya klaim tersebut, mereka ingin mendapat penyelesaian secara administrasi dengan apa yang disebut koreksi serta merta dari Pejabat yang berwenang untuk itu. Kewenangan untuk melakukan koreksi terhadap suatu keputusan Tata Usaha Negara di bidang pertanahan (sertifikat/Surat Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah), ada pada Kepala Badan Pertanahan Nasional.
Kasus pertanahan meliputi beberapa macam antara lain mengenai masalah status tanah, masalah kepemilikan, masalah bukti-bukti perolehan yang menjadi dasar pemberian hak dan sebagainya. Setelah menerima berkas pengaduan dari masyarakat tersebut di atas, pejabat yang berwenang menyelesaikan masalah ini akan mengadakan penelitian dan pengumpulan data terhadap berkas yang diadukan tersebut. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan sementara apakah pengaduan tersebut dapat diproses lebih lanjut atau tidak dapat. Apabila data yang disampaikan secara langsung ke Badan Pertanahan Nasional itu masih kurang jelas atau kurang lengkap, maka Badan Pertanahan Nasional akan meminta penjelasan disertai dengan data serta saran ke Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat letak tanah yang disengketakan.

Bilamana kelengkapan data tersebut telah dipenuhi, maka selanjutnya diadakan pengkajian kembali terhadap masalah yang diajukan tersebut yang meliputi segi prosedur, kewenangan dan penerapan hukumnya. Agar kepentingan masyarakat (perorangan atau badan hukum) yang berhak atas bidang tanah yang diklaim tersebut mendapat perlindungan hukum, maka apabila dipandang perlu setelah Kepala Kantor Pertanahan setempat mengadakan penelitian dan apabila dari keyakinannya memang harus distatus quokan, dapat dilakukan pemblokiran atas tanah sengketa. Kebijakan ini dituangkan dalam Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional tanggal 14-1-1992 No 110-150 perihal Pencabutan Instruksi Menteri Dalam Negeri No 16 tahun 1984.

Dengan dicabutnya Instruksi Menteri Dalam Negeri No 16 Tahun 1984, maka diminta perhatian dari Pejabat Badan Pertanahan Nasional di daerah yaitu para Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, agar selanjutnya di dalam melakukan penetapan status quo atau pemblokiran hanya dilakukan apabila ada penetapan Sita Jaminan (CB) dari Pengadilan. (Bandingkan dengan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No 3 Tahun 1997 Pasal 126).
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa apabila Kepala Kantor Pertanahan setempat hendak melakukan tindakan status quo terhadap suatu Keputusan Tata Usaha Negara di bidang Pertanahan (sertifikat/Surat Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah), harusnya bertindak hati-hati dan memperhatikan asas-asas umum Pemerintahan yang baik, antara lain asas kecermatan dan ketelitian, asas keterbukaan (fair play), asas persamaan di dalam melayani kepentingan masyarakat dan memperhatikan pihak-pihak yang bersengketa.
Terhadap kasus pertanahan yang disampaikan ke Badan Pertanahan Nasional untuk dimintakan penyelesaiannya, apabila dapat dipertemukan pihak-pihak yang bersengketa, maka sangat baik jika diselesaikan melalui cara musyawarah. Penyelesaian ini seringkali Badan Pertanahan Nasional diminta sebagai mediator di dalam menyelesaikan sengketa hak atas tanah secara damai saling menghormati pihak-pihak yang bersengketa.
Berkenaan dengan itu, bilamana penyelesaian secara musyawarah mencapai kata mufakat, maka harus pula disertai dengan bukti tertulis, yaitu dari surat pemberitahuan untuk para pihak, berita acara rapat dan selanjutnya sebagai bukti adanya perdamaian dituangkan dalam akta yang bila perlu dibuat di hadapan notaris sehingga mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna.
Pembatalan keputusan tata usaha negara di bidang pertanahan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional berdasarkan adanya cacat hukum/administrasi di dalam penerbitannya. Yang menjadi dasar hukum kewenangan pembatalan keputusan tersebut antara lain :
Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Keputusan Presiden No 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional Di Bidang Pertanahan.
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No 3 Tahun 1999.
Dalam praktik selama ini terdapat perorangan/ badan hukum yang merasa kepentingannya dirugikan mengajukan keberatan tersebut langsung kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional. Sebagian besar diajukan langsung oleh yang bersangkutan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional dan sebagian diajukan melalui Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat dan diteruskan melalui Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi yang bersangkutan.
B. Melalui Badan Peradilan
Apabila penyelesaian melalui musyawarah di antara para pihak yang bersengketa tidak tercapai, demikian pula apabila penyelesaian secara sepihak dari Kepala Badan Pertanahan Nasional tidak dapat diterima oleh pihak-pihak yang bersengketa, maka penyelesaiannya harus melalui pengadilan.
Setelah melalui penelitian ternyata Keputusan Tata Usaha Negara yang diterbitkan oleh Pejabat Badan Pertanahan Nasional sudah benar menurut hukum dan sesuai dengan prosedur yang berlaku, maka Kepala Badan Pertanahan Nasional dapat juga mengeluarkan suatu keputusan yang berisi menolak tuntutan pihak ketiga yang berkeberatan atas Keputusan Tata Usaha Negara yang telah dikeluarkan oleh Pejabat Badan Pertanahan Nasional tersebut. Sebagai konsekuensi dari penolakan tersebut berarti Keputusan Tata Usaha Negara yang telah dikeluarkan tersebut tetap benar dan sah walaupun ada pihak lain yang mengajukan ke pengadilan setempat.
Sementara menunggu putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, dilarang bagi Pejabat Tata Usaha Negara yang terkait mengadakan mutasi atas tanah yang bersangkutan (status quo). Oleh karena itu untuk menghindari terjadinya masalah di kemudian hari yang menimbulkan kerugian bagi pihak-pihak yang berperkara maupun pihak ketiga, maka kepada Pejabat Tata Usaha Negara di bidang Pertanahan yang terkait harus menerapkan asas-asas umum pemerintahan yang baik, yaitu untuk melindungi semua pihak yang berkepentingan sambil menunggu adanya putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde).
Kemudian apabila sudah ada putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum yang pasti, maka Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat melalui Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi yang bersangkutan mengusulkan permohonan pembatalan suatu Keputusan Tata Usaha Negara di bidang Pertanahan yang telah diputuskan tersebut di atas. Permohonan tersebut harus dilengkapi dengan laporan mengenai semua data yang menyangkut subjek dan beban yang ada di atas tanah tersebut serta segala permasalahan yang ada.
Kewenangan administratif permohonan pembatalan suatu Surat Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah atau Sertifikat Hak Atas Tanah adalah menjadi kewenangan Kepala Badan Pertanahan Nasional termasuk langkah-langkah kebijaksanaan yang akan diambil berkenaan dengan adanya suatu putusan hakim yang tidak dapat dilaksanakan. Semua ini agar diserahkan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional untuk menimbang dan mengambil keputusan lebih lanjut.
Sertifikat Tanah

PENYELESAIAN SENGKETA PERTANAHAN DI INDONESIA

Posted by Andi Sufiarma  |  11 comments


FIA S.AJI (KANWIL BPN GORONTALO)

Akhir-akhir ini kasus pertanahan muncul ke permukaan dan merupakan bahan pemberitaan di media massa. Secara makro penyebab munculnya kasus-kasus pertanahan tersebut adalah sangat bervariasi yang antara lain :
* Harga tanah yang meningkat dengan cepat.
* Kondisi masyarakat yang semakin sadar dan peduli akan kepentingan/haknya.
* Iklim keterbukaan yang digariskan pemerintah.
Pada hakikatnya, kasus pertanahan merupakan benturan kepentingan (conflict of interest) di bidang pertanahan antara siapa dengan siapa, sebagai contoh konkret antara perorangan dengan perorangan; perorangan dengan badan hukum; badan hukum dengan badan hukum dan lain sebagainya.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, guna kepastian hukum yang diamanatkan UUPA, maka terhadap kasus pertanahan dimaksud antara lain dapat diberikan respons/reaksi/penyelesaian kepada yang berkepentingan (masyarakat dan pemerintah), berupa solusi melalui Badan Pertanahan Nasional dan solusi melalui Badan Peradilan. Solusi penyelesaian sengketa tanah dapat ditempuh melalui 3 cara yaitu :
A. Solusi melalui BPN
Kasus pertanahan itu timbul karena adanya klaim/pengaduan/keberatan dari masyarakat (perorangan/badan hukum) yang berisi kebenaran dan tuntutan terhadap suatu keputusan Tata Usaha Negara di bidang pertanahan yang telah ditetapkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan Badan Pertanahan Nasional, serta keputusan Pejabat tersebut dirasakan merugikan hak-hak mereka atas suatu bidang tanah tersebut.
Dengan adanya klaim tersebut, mereka ingin mendapat penyelesaian secara administrasi dengan apa yang disebut koreksi serta merta dari Pejabat yang berwenang untuk itu. Kewenangan untuk melakukan koreksi terhadap suatu keputusan Tata Usaha Negara di bidang pertanahan (sertifikat/Surat Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah), ada pada Kepala Badan Pertanahan Nasional.
Kasus pertanahan meliputi beberapa macam antara lain mengenai masalah status tanah, masalah kepemilikan, masalah bukti-bukti perolehan yang menjadi dasar pemberian hak dan sebagainya. Setelah menerima berkas pengaduan dari masyarakat tersebut di atas, pejabat yang berwenang menyelesaikan masalah ini akan mengadakan penelitian dan pengumpulan data terhadap berkas yang diadukan tersebut. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan sementara apakah pengaduan tersebut dapat diproses lebih lanjut atau tidak dapat. Apabila data yang disampaikan secara langsung ke Badan Pertanahan Nasional itu masih kurang jelas atau kurang lengkap, maka Badan Pertanahan Nasional akan meminta penjelasan disertai dengan data serta saran ke Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat letak tanah yang disengketakan.

Bilamana kelengkapan data tersebut telah dipenuhi, maka selanjutnya diadakan pengkajian kembali terhadap masalah yang diajukan tersebut yang meliputi segi prosedur, kewenangan dan penerapan hukumnya. Agar kepentingan masyarakat (perorangan atau badan hukum) yang berhak atas bidang tanah yang diklaim tersebut mendapat perlindungan hukum, maka apabila dipandang perlu setelah Kepala Kantor Pertanahan setempat mengadakan penelitian dan apabila dari keyakinannya memang harus distatus quokan, dapat dilakukan pemblokiran atas tanah sengketa. Kebijakan ini dituangkan dalam Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional tanggal 14-1-1992 No 110-150 perihal Pencabutan Instruksi Menteri Dalam Negeri No 16 tahun 1984.

Dengan dicabutnya Instruksi Menteri Dalam Negeri No 16 Tahun 1984, maka diminta perhatian dari Pejabat Badan Pertanahan Nasional di daerah yaitu para Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, agar selanjutnya di dalam melakukan penetapan status quo atau pemblokiran hanya dilakukan apabila ada penetapan Sita Jaminan (CB) dari Pengadilan. (Bandingkan dengan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No 3 Tahun 1997 Pasal 126).
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa apabila Kepala Kantor Pertanahan setempat hendak melakukan tindakan status quo terhadap suatu Keputusan Tata Usaha Negara di bidang Pertanahan (sertifikat/Surat Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah), harusnya bertindak hati-hati dan memperhatikan asas-asas umum Pemerintahan yang baik, antara lain asas kecermatan dan ketelitian, asas keterbukaan (fair play), asas persamaan di dalam melayani kepentingan masyarakat dan memperhatikan pihak-pihak yang bersengketa.
Terhadap kasus pertanahan yang disampaikan ke Badan Pertanahan Nasional untuk dimintakan penyelesaiannya, apabila dapat dipertemukan pihak-pihak yang bersengketa, maka sangat baik jika diselesaikan melalui cara musyawarah. Penyelesaian ini seringkali Badan Pertanahan Nasional diminta sebagai mediator di dalam menyelesaikan sengketa hak atas tanah secara damai saling menghormati pihak-pihak yang bersengketa.
Berkenaan dengan itu, bilamana penyelesaian secara musyawarah mencapai kata mufakat, maka harus pula disertai dengan bukti tertulis, yaitu dari surat pemberitahuan untuk para pihak, berita acara rapat dan selanjutnya sebagai bukti adanya perdamaian dituangkan dalam akta yang bila perlu dibuat di hadapan notaris sehingga mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna.
Pembatalan keputusan tata usaha negara di bidang pertanahan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional berdasarkan adanya cacat hukum/administrasi di dalam penerbitannya. Yang menjadi dasar hukum kewenangan pembatalan keputusan tersebut antara lain :
Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Keputusan Presiden No 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional Di Bidang Pertanahan.
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No 3 Tahun 1999.
Dalam praktik selama ini terdapat perorangan/ badan hukum yang merasa kepentingannya dirugikan mengajukan keberatan tersebut langsung kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional. Sebagian besar diajukan langsung oleh yang bersangkutan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional dan sebagian diajukan melalui Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat dan diteruskan melalui Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi yang bersangkutan.
B. Melalui Badan Peradilan
Apabila penyelesaian melalui musyawarah di antara para pihak yang bersengketa tidak tercapai, demikian pula apabila penyelesaian secara sepihak dari Kepala Badan Pertanahan Nasional tidak dapat diterima oleh pihak-pihak yang bersengketa, maka penyelesaiannya harus melalui pengadilan.
Setelah melalui penelitian ternyata Keputusan Tata Usaha Negara yang diterbitkan oleh Pejabat Badan Pertanahan Nasional sudah benar menurut hukum dan sesuai dengan prosedur yang berlaku, maka Kepala Badan Pertanahan Nasional dapat juga mengeluarkan suatu keputusan yang berisi menolak tuntutan pihak ketiga yang berkeberatan atas Keputusan Tata Usaha Negara yang telah dikeluarkan oleh Pejabat Badan Pertanahan Nasional tersebut. Sebagai konsekuensi dari penolakan tersebut berarti Keputusan Tata Usaha Negara yang telah dikeluarkan tersebut tetap benar dan sah walaupun ada pihak lain yang mengajukan ke pengadilan setempat.
Sementara menunggu putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, dilarang bagi Pejabat Tata Usaha Negara yang terkait mengadakan mutasi atas tanah yang bersangkutan (status quo). Oleh karena itu untuk menghindari terjadinya masalah di kemudian hari yang menimbulkan kerugian bagi pihak-pihak yang berperkara maupun pihak ketiga, maka kepada Pejabat Tata Usaha Negara di bidang Pertanahan yang terkait harus menerapkan asas-asas umum pemerintahan yang baik, yaitu untuk melindungi semua pihak yang berkepentingan sambil menunggu adanya putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde).
Kemudian apabila sudah ada putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum yang pasti, maka Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat melalui Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi yang bersangkutan mengusulkan permohonan pembatalan suatu Keputusan Tata Usaha Negara di bidang Pertanahan yang telah diputuskan tersebut di atas. Permohonan tersebut harus dilengkapi dengan laporan mengenai semua data yang menyangkut subjek dan beban yang ada di atas tanah tersebut serta segala permasalahan yang ada.
Kewenangan administratif permohonan pembatalan suatu Surat Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah atau Sertifikat Hak Atas Tanah adalah menjadi kewenangan Kepala Badan Pertanahan Nasional termasuk langkah-langkah kebijaksanaan yang akan diambil berkenaan dengan adanya suatu putusan hakim yang tidak dapat dilaksanakan. Semua ini agar diserahkan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional untuk menimbang dan mengambil keputusan lebih lanjut.

Saturday, September 22, 2007 Share:

11 comments:

FIA S. AJI
Hukum Acara Perdata dapat disebut juga dengan Hukum Perdata Formil, namun lebih lazim dipergunakan istilah “Hukum Acara Perdata”. Hukum Acara Perdata merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari hukum perdata disebabkan Hukum Acara Perdata adalah ketentuan yangmengatur cara-cara berperkara di depan pengadilan.
Dalam berbagai literatur Hukum Acara Perdata, terdapat berbagai macam definisi Hukum Acara Perdata ini dari para ahli (sarjana), yang satu sama lain merumuskan berbeda-beda, namun pada prinsipnya mengandung tujuan yang sama.
Wirdjono Prodjodikoro (1976 : 43) menyatakan bahwa Hukum Acara Perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan di muka pengadilan dan bagaimana cara pengadilan itu harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan Hukum Perdata.
Sudikno Mertokusumo (1993 : 2), menyatakan bahwa Hukum Acara Perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya Hukum Materiil dengan perantaraan hakim”.
Soepomo (1958 : 4) dalam bukunya “Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri” meskipun tidak memberikan batasan, tetapi dengan menghubungkan tugas hakim, menjelaskan. Dalam peradilan perdata tugas hakim ialah mempertahankan tata hukum perdata, menetapkan apa yang ditetapkan oleh hukum dalam suatu perkara.
Inti dari berbagai definisi (rumusan) Hukum Acara Perdata diatas ini, agakanya tidak berbeda dengan apa yang telah dirumuskan dalam Laporan Hasil Simposium Pembaharuan Hukum Acara Perdata Nasional yang diselenggarakan oleh BPHN Departemen Kehakiman tanggal 21 – 23 tahun 1984 di Yogyakarta, bahwa Hukum Acara Perdata adalah hukum yang mengatur bagaimana caranya untuk menjamin ditegakkannya atau dipertahankannya hukum perdata materiil.
Hukum perdata materiil yang ingin dipertahankan atau ditegakkan dengan Hukum Acara Perdata tersebut meliputi peraturan hukum tertulis dalam bentuk perundang-undangan (seperti BW, WVK, UUPA, Undang-Undang Perkawinan dan sebagainya) dan peraturan hukum yang tidak tertulis berupa Hukum Adat yang hidup dalam masyarakat. Hukum perdata ini harus ditaati oleh setiap orang agar tecipta ketertiban dan ketentraman dalam masyarakat.
Apabila dalam pergaulan hukum di tengah-tengah masyarakat, ada yang melakukan pelanggaran terhadap norma/kaidah Hukum Perdata tersebut, misalnya penjual tidak menyerahkan barang yang dijualnya maka hal itu jelas menimbulkan kerugian terhadap pihak lain. Untuk memulihkan hak perdatapihak lain yang telah dirugikan ini, maka Hukum Perdata Materiil yang telah dilanggar itu harus dipertahankan atau ditegakkan, yaitu dengan cara mempergunakan Hukum Acara Perdata. Jadi pihak lain yang hak perdatanya dirugikan karena pelanggaran terhadap hukum perdata tersebut, tidak boleh memulihkan hak perdatanya itu dengan cara main hakim sendiri, melainkan harus menurut ketantuan yang termuat dalam Hukum Acara Perdata.
Di sisi lain dapat dikatakan, bahwa pelanggaran terhadap Hukum Perdata itu akan menimbulkan perkara perdata, yakni perkara dalam ruang lingkup Hukum Perdata. Cara menyelesaikan perkara perdata ini di dalam negara yang berdasar atas hukum, tidak boleh dengan main hakim sendiri, tetapi harus dengan jalan yang diatur dalam Hukum Acara Perdata. Oleh karena itu dapat juga dikatakan, bahwa yang dimaksud dengan Hukum Acara Perdata adalah peraturan hukum yang menentukan bagaimana caranya menyelesaikan perkara perdata melalui badan peradilan.
Seluk beluk bagaimana caranya menyelesaikan perkara perdata melalui badan peradilan, semuanya diatur dalam Hukum Acara Perdata. Dengan adanya Hukum Acara Perdata masyarakat merasa adanya kepastian hukum, bahwa setiap orang dapat mempertahankan hak perdatanya dengan sebaik-baiknya, dan setiap orang yang melakukan pelanggaran terhadap Hukum Perdata yang menyebabkan kerugian terhadap orang lain dapat dituntut melalui pengadilan. Dengan Hukum Acara Perdata diharapkan tercipta ketertiban dan kepastian hukum (perdata) dalam masyarakat.
Untuk dapat mencapai apa yang menjadi tujuan Hukum Acara Perdata sebagaimana disebutkan diatas ini, maka pada umumnya peratutan-peraturan Hukum Acara Perdata bersifat mengatur dan memaksa. karena dianggap menyelenggarakan kepentingan umum, sehingga peraturan Hukum Acara Perdata yang bersifat mengatur dan memaksa ini tidak dapat dikesampingkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dan pihak-pihak yang berkepentingan mau tidak mau harus tunduk dan mentaatinya. Meskipun demikian ada juga bagian dari Hukum Acara Perdata yang bersifat pelengkap, karena dianggap mengatur penyelenggaraan kepentingan khusus dari yang bersangkutan, sehingga peraturan Hukum Acara Perdata yang bersifat pelengkap ini dapat dikesampingkan atau disampingi oleh pihak-pihak yang berkepentingan, misalnya mengenai alat-alat bukti yang dipergunakan untuk pembuktian suatu perkara, pihak-pihak yang berkepentingan dapat mengadakan perjanjian yang menetapkan bagi mereka hanya dapat mempergunakan satu alat bukti saja misalnya tulisan, dan pembuktian dengan alat bukti lain yang diperkenankan. Perjanjian yang mengatur tentang pembuktian yang berlaku bagi orang-orang yang mengadakan perjanjian tersebut dinamakan “Perjanjian Pembuktian”, yang menurut hukum memang dibolehkan dalam batas-batas tertentu.
Dalam proses peradilan perkara perdata dikenal adanya Testimonium de auditu yaitu keterangan saksi yang diperolehnya dari pihak lain yang melihat dan mengetahui adanya suatu peristiwa namun pihak yang mengetahui tersebut tidak bersaksi di pengadilan melainkan menceritakan pengetahuannya kepada saksi. Misalnya, pihak ketiga mengetahui secara langsung bahwa kedua belah pihak yang berperkara pernah mengadakan perjanjian hutang piutang. Kemudian pihak ketiga ini menceritakan pengetahuannya kepada saksi. Di persidangan saksi memberikan kesaksian bahwa ia mendengar dari pihak ketiga bahwa telah terjadi perjanjian utang piutang antara kedua belah pihak.
Hal yang penting diketahui sehubungan dengan kesaksian Testamonium de Auditu adalah kekuatan pembuktian keterangan tersebut. Untuk mengetahui kekuatan pembuktiannya maka hal yang harus diperhatikan adalah Pasal 171 ayat (2) HIR/Pasal 308 ayat (2) Rbg/1907 BW sebagai sumber hukum perdata di Indonesia. Dalam ketentuan tersebut disebutkan bahwa keterangan yang diberikan oleh saksi haruslah tentang peristiwa atau sesuatu yang dilihat sendiri, didengar sendiri atau dialami sendiri. Lagi pula setiap kesaksian harus disertai alasan-alasan apa sebabnya dan bagaimana sehingga peristiwa atau sesuatu yang diterangkannya.
Pendapat atau dugaan yang diperoleh karena berpikir bukanlah merupakan kesaksian (). Demikian juga kesaksian yang didengar dari orang lain yang disebut testimonium de auditu tersebut jika didasarkan pada Pasal 171 ayat (2) HIR/Pasal 308 ayat (2) Rbg/1907 BW bukan merupakan alat bukti dan tidak perlu dipertimbangkan (Mahkamah Agung tgl 15-03-1972 No. 547 K/Sip/1971 tanggal 05-05-1971 No. 803 K/Sip/1970). tapi dalam putusan tanggal 11 November 1959 No. 308 K/Sip/1959 Mahkamah Agung menyatakan bahwa meskipun testimonium de auditu tidak dapat digunakan sebagai alat bukti langsung namun penggunaaannya tidak dilarang sebagai persangkaan.
Pada umumnya, testimonium de auditu tidak diperkenankan karena tidak berhubungan dengan peristiwa yang dialami sendiri. Namun, hakim tetap dapat bebas untuk memberikan pendapat bahwa keterangan saksi yang diperoleh dari pihak ketiga dapat dianggap sebagai persangkaan.

TESTAMONIUM DE AUDITU

Posted by Andi Sufiarma  |  1 comment

FIA S. AJI
Hukum Acara Perdata dapat disebut juga dengan Hukum Perdata Formil, namun lebih lazim dipergunakan istilah “Hukum Acara Perdata”. Hukum Acara Perdata merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari hukum perdata disebabkan Hukum Acara Perdata adalah ketentuan yangmengatur cara-cara berperkara di depan pengadilan.
Dalam berbagai literatur Hukum Acara Perdata, terdapat berbagai macam definisi Hukum Acara Perdata ini dari para ahli (sarjana), yang satu sama lain merumuskan berbeda-beda, namun pada prinsipnya mengandung tujuan yang sama.
Wirdjono Prodjodikoro (1976 : 43) menyatakan bahwa Hukum Acara Perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan di muka pengadilan dan bagaimana cara pengadilan itu harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan Hukum Perdata.
Sudikno Mertokusumo (1993 : 2), menyatakan bahwa Hukum Acara Perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya Hukum Materiil dengan perantaraan hakim”.
Soepomo (1958 : 4) dalam bukunya “Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri” meskipun tidak memberikan batasan, tetapi dengan menghubungkan tugas hakim, menjelaskan. Dalam peradilan perdata tugas hakim ialah mempertahankan tata hukum perdata, menetapkan apa yang ditetapkan oleh hukum dalam suatu perkara.
Inti dari berbagai definisi (rumusan) Hukum Acara Perdata diatas ini, agakanya tidak berbeda dengan apa yang telah dirumuskan dalam Laporan Hasil Simposium Pembaharuan Hukum Acara Perdata Nasional yang diselenggarakan oleh BPHN Departemen Kehakiman tanggal 21 – 23 tahun 1984 di Yogyakarta, bahwa Hukum Acara Perdata adalah hukum yang mengatur bagaimana caranya untuk menjamin ditegakkannya atau dipertahankannya hukum perdata materiil.
Hukum perdata materiil yang ingin dipertahankan atau ditegakkan dengan Hukum Acara Perdata tersebut meliputi peraturan hukum tertulis dalam bentuk perundang-undangan (seperti BW, WVK, UUPA, Undang-Undang Perkawinan dan sebagainya) dan peraturan hukum yang tidak tertulis berupa Hukum Adat yang hidup dalam masyarakat. Hukum perdata ini harus ditaati oleh setiap orang agar tecipta ketertiban dan ketentraman dalam masyarakat.
Apabila dalam pergaulan hukum di tengah-tengah masyarakat, ada yang melakukan pelanggaran terhadap norma/kaidah Hukum Perdata tersebut, misalnya penjual tidak menyerahkan barang yang dijualnya maka hal itu jelas menimbulkan kerugian terhadap pihak lain. Untuk memulihkan hak perdatapihak lain yang telah dirugikan ini, maka Hukum Perdata Materiil yang telah dilanggar itu harus dipertahankan atau ditegakkan, yaitu dengan cara mempergunakan Hukum Acara Perdata. Jadi pihak lain yang hak perdatanya dirugikan karena pelanggaran terhadap hukum perdata tersebut, tidak boleh memulihkan hak perdatanya itu dengan cara main hakim sendiri, melainkan harus menurut ketantuan yang termuat dalam Hukum Acara Perdata.
Di sisi lain dapat dikatakan, bahwa pelanggaran terhadap Hukum Perdata itu akan menimbulkan perkara perdata, yakni perkara dalam ruang lingkup Hukum Perdata. Cara menyelesaikan perkara perdata ini di dalam negara yang berdasar atas hukum, tidak boleh dengan main hakim sendiri, tetapi harus dengan jalan yang diatur dalam Hukum Acara Perdata. Oleh karena itu dapat juga dikatakan, bahwa yang dimaksud dengan Hukum Acara Perdata adalah peraturan hukum yang menentukan bagaimana caranya menyelesaikan perkara perdata melalui badan peradilan.
Seluk beluk bagaimana caranya menyelesaikan perkara perdata melalui badan peradilan, semuanya diatur dalam Hukum Acara Perdata. Dengan adanya Hukum Acara Perdata masyarakat merasa adanya kepastian hukum, bahwa setiap orang dapat mempertahankan hak perdatanya dengan sebaik-baiknya, dan setiap orang yang melakukan pelanggaran terhadap Hukum Perdata yang menyebabkan kerugian terhadap orang lain dapat dituntut melalui pengadilan. Dengan Hukum Acara Perdata diharapkan tercipta ketertiban dan kepastian hukum (perdata) dalam masyarakat.
Untuk dapat mencapai apa yang menjadi tujuan Hukum Acara Perdata sebagaimana disebutkan diatas ini, maka pada umumnya peratutan-peraturan Hukum Acara Perdata bersifat mengatur dan memaksa. karena dianggap menyelenggarakan kepentingan umum, sehingga peraturan Hukum Acara Perdata yang bersifat mengatur dan memaksa ini tidak dapat dikesampingkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dan pihak-pihak yang berkepentingan mau tidak mau harus tunduk dan mentaatinya. Meskipun demikian ada juga bagian dari Hukum Acara Perdata yang bersifat pelengkap, karena dianggap mengatur penyelenggaraan kepentingan khusus dari yang bersangkutan, sehingga peraturan Hukum Acara Perdata yang bersifat pelengkap ini dapat dikesampingkan atau disampingi oleh pihak-pihak yang berkepentingan, misalnya mengenai alat-alat bukti yang dipergunakan untuk pembuktian suatu perkara, pihak-pihak yang berkepentingan dapat mengadakan perjanjian yang menetapkan bagi mereka hanya dapat mempergunakan satu alat bukti saja misalnya tulisan, dan pembuktian dengan alat bukti lain yang diperkenankan. Perjanjian yang mengatur tentang pembuktian yang berlaku bagi orang-orang yang mengadakan perjanjian tersebut dinamakan “Perjanjian Pembuktian”, yang menurut hukum memang dibolehkan dalam batas-batas tertentu.
Dalam proses peradilan perkara perdata dikenal adanya Testimonium de auditu yaitu keterangan saksi yang diperolehnya dari pihak lain yang melihat dan mengetahui adanya suatu peristiwa namun pihak yang mengetahui tersebut tidak bersaksi di pengadilan melainkan menceritakan pengetahuannya kepada saksi. Misalnya, pihak ketiga mengetahui secara langsung bahwa kedua belah pihak yang berperkara pernah mengadakan perjanjian hutang piutang. Kemudian pihak ketiga ini menceritakan pengetahuannya kepada saksi. Di persidangan saksi memberikan kesaksian bahwa ia mendengar dari pihak ketiga bahwa telah terjadi perjanjian utang piutang antara kedua belah pihak.
Hal yang penting diketahui sehubungan dengan kesaksian Testamonium de Auditu adalah kekuatan pembuktian keterangan tersebut. Untuk mengetahui kekuatan pembuktiannya maka hal yang harus diperhatikan adalah Pasal 171 ayat (2) HIR/Pasal 308 ayat (2) Rbg/1907 BW sebagai sumber hukum perdata di Indonesia. Dalam ketentuan tersebut disebutkan bahwa keterangan yang diberikan oleh saksi haruslah tentang peristiwa atau sesuatu yang dilihat sendiri, didengar sendiri atau dialami sendiri. Lagi pula setiap kesaksian harus disertai alasan-alasan apa sebabnya dan bagaimana sehingga peristiwa atau sesuatu yang diterangkannya.
Pendapat atau dugaan yang diperoleh karena berpikir bukanlah merupakan kesaksian (). Demikian juga kesaksian yang didengar dari orang lain yang disebut testimonium de auditu tersebut jika didasarkan pada Pasal 171 ayat (2) HIR/Pasal 308 ayat (2) Rbg/1907 BW bukan merupakan alat bukti dan tidak perlu dipertimbangkan (Mahkamah Agung tgl 15-03-1972 No. 547 K/Sip/1971 tanggal 05-05-1971 No. 803 K/Sip/1970). tapi dalam putusan tanggal 11 November 1959 No. 308 K/Sip/1959 Mahkamah Agung menyatakan bahwa meskipun testimonium de auditu tidak dapat digunakan sebagai alat bukti langsung namun penggunaaannya tidak dilarang sebagai persangkaan.
Pada umumnya, testimonium de auditu tidak diperkenankan karena tidak berhubungan dengan peristiwa yang dialami sendiri. Namun, hakim tetap dapat bebas untuk memberikan pendapat bahwa keterangan saksi yang diperoleh dari pihak ketiga dapat dianggap sebagai persangkaan.

Saturday, September 22, 2007 Share:

1 comments:

Friday, September 21, 2007

Simaklah baik-baik cerita di bawah ini....jangan membacanya 2 kali................(anda harus jujur pada diri sendiri!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!)

"bayangkanlah anda seorang pilot..............."

Ditengan perjalanan anda membawa sebuah pesawat menuju pulau Jawa tiba-tiba anda kehilangan arah. anda menghubungi pihak bandara untuk meminta bantuan.Kepada saudara diberikan perintah "Harap naik ke 25.000 kaki, arah 160 derajat, sampai nanti menjelang Surabaya. Angkasa tak berawan, kecepatan angin 8 knot arah 60 derajat. Saudara diperintahkan untuk bergeser 423 ke selatan setelah di Surabaya."
Pertanyaan saya adalah "BERAPA NO. SEPATU PILOTNYA?"

UJI KONSENTRASI

Posted by Andi Sufiarma  |  2 comments

Simaklah baik-baik cerita di bawah ini....jangan membacanya 2 kali................(anda harus jujur pada diri sendiri!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!)

"bayangkanlah anda seorang pilot..............."

Ditengan perjalanan anda membawa sebuah pesawat menuju pulau Jawa tiba-tiba anda kehilangan arah. anda menghubungi pihak bandara untuk meminta bantuan.Kepada saudara diberikan perintah "Harap naik ke 25.000 kaki, arah 160 derajat, sampai nanti menjelang Surabaya. Angkasa tak berawan, kecepatan angin 8 knot arah 60 derajat. Saudara diperintahkan untuk bergeser 423 ke selatan setelah di Surabaya."
Pertanyaan saya adalah "BERAPA NO. SEPATU PILOTNYA?"

Friday, September 21, 2007 Share:

2 comments:

By. Andi Maulana Mustamin, S.H.,M.H
(Alumni Pascasarjana UNHAS)
Seorang tokoh bernama Montesqieu memperlihatkan aspek tertentu tentang fungsi hakim dimana disatu waktu merupakan pengeras suara dari undang-undang dan dilain waktu menterjemahkan undang-undang atau dalam keadaan dimana tidak terdapat kriterium konkrit menurut undang-undang maka hakim tidak dapat melakukan hal kecuali memutus menurut keyakinan hukumnya, ( John Z. Leudoe, 1987 :155).
Baik sebagai pengeras suara dari undang-undang maupun sebagai penterjemah atau penemu hukum merupakan aspek yang sangat penting dari seorang hakim. Memang, pada umumnya kita memiliki undang-undang yang jelas dan cermat sehingga dalam penerapannya kita tidak mengalami kesulitan akan tetapi kadang kala kita dikonfrontasi dengan situasi luar biasa sehingga memaksa hakim untuk berpikir dan melakukan penemuan hukum. Undang-undang mengenai titik taut dalam hukum perikatan , misalnya. Pada umumnya dalam sengketa, titik taut menjadi tidak jelas sehingga tidak mungkin dapat diberikan putusan seketika sehingga dalam keadaan tersebut dibutuhkan peran aktif dari hakim dalam memikirkan putusannya.
Penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim bukan tanpa fungsi akan tetapi untuk memperoleh putusan yang diharapkan memuaskan para pihak, bukan saja untuk hal yang konkrit akan tetapi juga untuk hal yang akan datang demi perkembangan hukum. Penemuan hukum bukan hanya untuk menanyakan apa yang dikatakan undang-undang tetapi juga mengharapkan jawaban untuk digunakan.
Sebuah ungkapan yang sering didengar dalam dunia hukum di indonesia, yaitu hukum tertatih-tatih mengikuti perkembangan zaman. Tertatih-tatihnya hukum ini tentu saja akan sangat fatal bagi perkembangan hukum karena hal ini akan berakibat pada ketidakmampuan hukum untuk menjalankan salah satu fungsinya yaitu sebagai control sosial dan sebaga alat rekayasa sosial.
Berbicara hukum sebenarnya kita sedang berbicara sesuatu yang lebih luas, bukan sekedar berbicara tentang Undang-undang. Pembicaraan tentang hukum yang selalu diidentikkan dengan undang-undang akan melahirkan kestatisan dalam hukum. Undang-undang tidak sempurna, karena tidak mungkin undang-undang dapat mengatur segala kehidupan manusia secara tuntas. Sehingga adakalanya undang-undang tidak jelas atau bahkan tidak lengkap.Dalam hal terjadi pelanggaran hukum, seorang hakim tidak boleh menolak atau menagguhkan menjatuhkan putusan dengan alasan hukumnya tidak jelas atau tidak ada.
Suatu contoh dalam realitas saat ini adalah teknologi internet. Begitu banyak kejahatan yang dapat terjadi melalui media ini. Ketika kejahatan tersebut terjadi, jika para hakim hanya mendasarkan putusan pada undang-undang, maka akan sangat banyak pelaku kejahatan dunia cyber yang akan lepas begitu saja. Dan ini berarti bahwa sebelumnya lahirnya undang-undang tentang cyber telah terjadi kekosongan dalam hukum.Ungkapan bahwa hakim hanya merupakan terompet undang-undang merupakan ungkapan sindiran yang seharusnya memacu para hakim untuk aktif dalam melakukan penemuan. Jangankan, aturan yang belum ada, menafsirkan yang sudah ada pun sebenarnya merupakan hal yang sulit. Berapa banyak penafsiran yang dapat diberikan untuk kata “barang” dalam pasal 362 KUHP. Jika para hakim tidak jeli dalam melakukan penemuan hukum maka alangkah beruntungnya para pencuri yang melakukan pencurian melalui transfer ke dalam rekening, atau kasus-kasus lain yang semakin hari semakin menuntut kreatifitas dari para hakim demi terwujudnya hukum sebagai alat kontrol dan rekayasa sosial sehingga ungkapan tertatih-tatihnya hukum dalam perkembangan masyarakat akan terlupakan(posting by Fia S.Aji)
Hukum

URGENSI PENEMUAN HUKUM DI INDONESIA

Posted by Andi Sufiarma  |  1 comment

By. Andi Maulana Mustamin, S.H.,M.H
(Alumni Pascasarjana UNHAS)
Seorang tokoh bernama Montesqieu memperlihatkan aspek tertentu tentang fungsi hakim dimana disatu waktu merupakan pengeras suara dari undang-undang dan dilain waktu menterjemahkan undang-undang atau dalam keadaan dimana tidak terdapat kriterium konkrit menurut undang-undang maka hakim tidak dapat melakukan hal kecuali memutus menurut keyakinan hukumnya, ( John Z. Leudoe, 1987 :155).
Baik sebagai pengeras suara dari undang-undang maupun sebagai penterjemah atau penemu hukum merupakan aspek yang sangat penting dari seorang hakim. Memang, pada umumnya kita memiliki undang-undang yang jelas dan cermat sehingga dalam penerapannya kita tidak mengalami kesulitan akan tetapi kadang kala kita dikonfrontasi dengan situasi luar biasa sehingga memaksa hakim untuk berpikir dan melakukan penemuan hukum. Undang-undang mengenai titik taut dalam hukum perikatan , misalnya. Pada umumnya dalam sengketa, titik taut menjadi tidak jelas sehingga tidak mungkin dapat diberikan putusan seketika sehingga dalam keadaan tersebut dibutuhkan peran aktif dari hakim dalam memikirkan putusannya.
Penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim bukan tanpa fungsi akan tetapi untuk memperoleh putusan yang diharapkan memuaskan para pihak, bukan saja untuk hal yang konkrit akan tetapi juga untuk hal yang akan datang demi perkembangan hukum. Penemuan hukum bukan hanya untuk menanyakan apa yang dikatakan undang-undang tetapi juga mengharapkan jawaban untuk digunakan.
Sebuah ungkapan yang sering didengar dalam dunia hukum di indonesia, yaitu hukum tertatih-tatih mengikuti perkembangan zaman. Tertatih-tatihnya hukum ini tentu saja akan sangat fatal bagi perkembangan hukum karena hal ini akan berakibat pada ketidakmampuan hukum untuk menjalankan salah satu fungsinya yaitu sebagai control sosial dan sebaga alat rekayasa sosial.
Berbicara hukum sebenarnya kita sedang berbicara sesuatu yang lebih luas, bukan sekedar berbicara tentang Undang-undang. Pembicaraan tentang hukum yang selalu diidentikkan dengan undang-undang akan melahirkan kestatisan dalam hukum. Undang-undang tidak sempurna, karena tidak mungkin undang-undang dapat mengatur segala kehidupan manusia secara tuntas. Sehingga adakalanya undang-undang tidak jelas atau bahkan tidak lengkap.Dalam hal terjadi pelanggaran hukum, seorang hakim tidak boleh menolak atau menagguhkan menjatuhkan putusan dengan alasan hukumnya tidak jelas atau tidak ada.
Suatu contoh dalam realitas saat ini adalah teknologi internet. Begitu banyak kejahatan yang dapat terjadi melalui media ini. Ketika kejahatan tersebut terjadi, jika para hakim hanya mendasarkan putusan pada undang-undang, maka akan sangat banyak pelaku kejahatan dunia cyber yang akan lepas begitu saja. Dan ini berarti bahwa sebelumnya lahirnya undang-undang tentang cyber telah terjadi kekosongan dalam hukum.Ungkapan bahwa hakim hanya merupakan terompet undang-undang merupakan ungkapan sindiran yang seharusnya memacu para hakim untuk aktif dalam melakukan penemuan. Jangankan, aturan yang belum ada, menafsirkan yang sudah ada pun sebenarnya merupakan hal yang sulit. Berapa banyak penafsiran yang dapat diberikan untuk kata “barang” dalam pasal 362 KUHP. Jika para hakim tidak jeli dalam melakukan penemuan hukum maka alangkah beruntungnya para pencuri yang melakukan pencurian melalui transfer ke dalam rekening, atau kasus-kasus lain yang semakin hari semakin menuntut kreatifitas dari para hakim demi terwujudnya hukum sebagai alat kontrol dan rekayasa sosial sehingga ungkapan tertatih-tatihnya hukum dalam perkembangan masyarakat akan terlupakan(posting by Fia S.Aji)

Friday, September 21, 2007 Share:

1 comments:

Thursday, September 20, 2007

Oleh : Fia S. Aji (Kanwil BPN Gorontalo)

Setelah Indonesia merdeka, pemerintah Indonesia berupaya untuk memperbaharui tata hukum agraria yang berangkat dari cita-cita hasil pembentukan Negara baru, yakni menciptakan kesejahteraan rakyat, dengan menetapkan Undang-Undang Pokok Agraria No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Bagian yang cukup penting dari UUPA antara lain ialah yang bersangkutan dengan ketentuan-ketentuan landreform, seperti ketentuan mengenai luas maksimum-minimum hak atas tanah dan pembagian tanah kepada petani tak bertanah. Oleh Noer Fauzi (dalam Farida, 2002:1) menyatakan bahwa semenjak tanggal 24 September 1960, rakyat petani mempunyai kekuatan hukum untuk memperjuangkan haknya atas tanah, melakukan pembagian hasil yang adil dan mengolah tanahnya demi kemakmuran.
Bila ditinjau secara seksama maka akan jelaslah bahwa UUPA (terutama pasal 7, 10 dan 17) merupakan induk dari ketentuan landreform Indonesia, baik mulai dari menimbang hingga pasal 19 dan ketentuan-ketentuan Konversi Hak atas Tanah. Dengan membaca konsiderans maupun Penjelasan dari UUPA dan pasal 1 hingga pasal 19 UUPA, mapun Ketentuan Konversi akan jelas tentang penetapan dari landreform di Indonesia (A.P.Parlindungan, 1987:4).Sebagai tindak lanjut dari ketentuan pasal 17 UUPA tentang batas maksimum-minimum pemilikan tanah dikeluarkan Undang-Undang No.56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, dikenal sebagai UU Landreform. Kemudian terhadap pemberian ganti kerugian kepada bekas pemilik tanah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah No.224 tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian.
Perkembangan lebih lanjut dari landreform di Indonesia dalam pelaksanaannya mengalami stagnasi, tersendat-sendat dan tidak tuntas terkesan dianaktirikan dalam kebijakan pembangunan bahkan baru pada tahun 1978 kemudian tahun 1983 dalam GBHN secara tegas dinyatakan landreform sebagai suatu kemauan politik. Perubahan jaman dengan adanya liberalisasi perdagangan menempatkan tanah sebagai komoditi membuat masalah ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah semakin kompleks dimana rakyat terutama petani kecil diposisikan sebagai korban arus kapitalisme global. Fenomena di atas terlihat jelas, dimana rejim orde baru sejal awal langkah pemerintahannya telah meninggalkan roh dan semangat UUPA yang populis dan diganti dengan kebijakan memfasilitasi akumulasi modal.

Diundangkannya UU No.5/1960 (UUPA) mengakhiri dualisme hukum agraria yang ada sebelumnya berlaku di Indonesia, yakni Hukum Barat yang didasarkan pada Kitab undang-Undang Hukum Perdata dan Hukum Tanah Adat yang didasarkan pada prinsip-prinsip hukum penduduk sipil (adat) Indonesia.
Tujuan pokok dari diundangkannya UUPA adalah (i) meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional, yang merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat adil dan makmur, (ii) meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan, (iii) meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
Latar belakang dari agenda atau tujuan pokok dari UUPA di atas adalah karena realitas pengaturan hukum agraria yang diwariskan pemerintah jajahan sangat bertentangan dengan kepentingan rakyat dan bangsa, melahirkan sifat dualisme hukum agraria dan tidak memberikan jaminan kepastian hukum bagi rakyat asli Indonesia. Semua itu harus dihapus dan digantikan dengan semangat yang didasarkan pada kepentingan rakyat dan bangsa berdasar UUD 1945. Dari penjelasan UUPA itu menunjukkan bahwa UUPA adalah anti kapitalisme dan sebaliknya memiliki semangat kerakyatan (populis). Cita-cita UUPA adalah melaksanakan perubahan secara mendasar terhadap relasi agraria yang ada agar menjadi lebih adil dan memenuhi kepentingan rakyat petani. Terdapat tiga konsep dasar dalam UUPA (Anonim, 2002:3) yaitu:
hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat;
Eksistensi dan wewenang Negara sebagai organisasi tertinggi bangsa dinyatakan dalam Hak Menguasai Negara atas bumi, air, dan ruang angkasa sebagai penjabaran pasal 33 UUD 1945 yang digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat;
Pelaksanaan program landreform.
Asas-asas dan ketentuan pokok landreform dijumpai dalam UUPA. Landreform dalam arti sempit merupakan serangkaian tindakan dalam rangka Agraria Reform Indonesia (Boedi Harsono, 1999:350). Oleh Effendi Perangin (1986:121) membagi program landreform dalam arti sempit dan landreform dalam arti luas. Program landreform dalam arti luas biasa disebut Agraria atau Reform atau Panca Program yang meliputi:
Pembaharuan hukum agraria yaitu dengan mengadakan perombakan terhadap sendi-sendi hukum agraria lama yang tidak sesuai dengan kondisi dan situasi jaman dan menggantikan dengan perkembangan masyarakat modern.
Mengadakan penghapusan terhadap segala macam hak-hak asing konsesi colonial.
Mengakhiri kekuasaan tuan tanah dan para feodal atas tanah yang telah banyak melakukan pemerasan terhadap rakyat melalui penguasaan tanah.
Mengadakan perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan tanah serta berbagai hubungan hukum yang berkenaan dengan penguasaan tanah.
Mengadakan perencanaan, persediaan, peruntukan dan penggunaan tanah secara berencana sesuai dengan kemampuan dan perkembangan kemajuan. Sedangkan pengertian program landreform dalam arti sempit hanya mencakup program yang ke empat yang mencakup perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan tanah serta berbagai hubungan hukum yang berkenaan dengan penguasaan tanah.
UUPA sebagai induk dari program landreform di Indonesia maka beberapa pasal-pasal UUPA yang sangat berkaitan dengan landreform yaitu pasal 7, 10 dan 17. Untuk mencegah hak-hak perseorangan yang melampaui batas diatur secara tegas dalam pasal 7 yang berbunyi “untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan”. Ketentuan dalam pasal tersebut berhubungan dengan pasal-pasal lainnya seperti dalam pasal 10 yang menentukan bahwa setiap orang yang mempunyai suatu hak atas tanah pertanian pada asasnya wajib mengerjakan sendiri secara aktif. Oleh Sudargo Gautama (1980:23) dikatakan bahwa ketentuan pasal 10 ini hendak menghalangi terwujudnya tuan-tuan tanah yang tinggal di kota-kota besar, menunggu saja hasil tanah-tanah yang diolah dan digarap oleh orang yang berada di bawah perintah/kuasanya.
Selanjutnya dalam pasal 17 UUPA menunjuk kepada apa yang ditentukan dalam pasal 7 dan 10, maka pasal 17 mengemukakan tentang batas-batas maksimum luasnya tanah. Dengan adanya ketentuan ini dapat dihindarkan tertumpuknya tanah pada golongan-golongan tertentu saja. Dasar hukum yang tercantum di sini sejalan pula dengan tujuan landreform. Arman Makanu (2001:28) dikatakan bahwa pasal 17 UUPA ini juga mencerminkan ciri-ciri khas serta kebijaksanaan dalam pelaksanaan landreform di Indoensia yaitu pemberian/pembayaran ganti rugi oleh pemerintah kepada bekas pemilik tanah kelebihan dan tanah absentee. Oleh Boedi Harsono (1999:353) dikatakan bahwa tujuan landreform yang diselenggarakan di Indonesia adalah untuk mempertinggi penghasilan dan taraf hidup para petani terutama petani kecil dan petani penggarap tanah, sebagai landasan atau prasyarat untuk menyelenggarakan pembangunan ekonomi menuju masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
Dalam kerangka pencapaian tujuan keadilan sosial yang menjadi semangat dan roh UUPA pemerintah mengeluarkan berbagai peraturan hukum dibidang pertanahan, antara lain UU No.56 Prp 1960 sebagai pelaksanaan pasal 17 UUPA, UU No.2/1960 tentang Bagi Hasil, Peraturan Pemerintah (PP) No.24/1997 tentang Pendaftaran Tanah, PP No.224/1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Ganti Kerugian yang kesemuanya disiapkan untuk pelaksanaan program landreform.
Keberadaan aturan-aturan tersebut tidak menjamin bahwa program landreform dapat dilaksanakan secara maksimal, pergantian rejim pemerintahan tidak memperlancar program ini bahkan macet dalam pelaksanaannya, sebab prinsip yang digunakan oleh pemerintah yaitu tanah untuk sebesar-besarnya pertumbuhan ekonomi nasional. Aparatur militer juga diposisikan untuk mendukung proses ini dengan dasar asumsi bahwa pembangunan memerlukan stabilitas politik. Di sini konsep tanah berfungsi sosial (pasal 6 UUPA) semakin jauh, fungsi sosial itu dimaknakan dan dijadikan dasar legitimasi pembebasan tanah untuk kepentingan pembangunan industri.
Fenomena yang terjadi sekarang ini menunjukkan masih terjadinya penumpukan tanah oleh pihak tertentu, padahal pasal 7 UUPA mengatur tentang larangan menguasai tanah melampaui batas tertentu, sebab hal ini merugikan kepentingan umum, karena berhubung dengan terbatasnya persediaan tanah pertanian, khususnya didaerah yang berpenduduk padat. Kelangkaan tanah menyebabkan tanah memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi.
Kemudian dalam penjelasan umum UU No.56 Prp Tahun 1960 menetapkan bahwa untuk mempertinggi taraf hidup rakyat pada umumnya tidaklah cukup diadakan penetapan luas maksimum dan minimum saja, tetapi harus diikuti dengan pembagian tanah-tanah yang melebihi maksimum itu. Agar supaya dapat dicapai hasil sebagai yang diharapkan, maka usaha itu perlu disertai tindakan-tindakan lainnya misalnya pembukuan tanah, tanah pertanian baru, industrialisasi, transmigrasi, usaha untuk mempertinggi produktivitas, persediaan yang cukup dan dapat diperoleh pada waktunya dengan mudah dan murah serta tindakan-tindakan lainnya.
Ketimpangan dalam pemilikan dan penguasaan tanah semakin nampak jelas akibat dari tidak meratanya pendistribusian/pembagian tanah, hal ini dapat dilihat dari gejala, tanah-tanah tersebut terakumulasi di tangan orang atau badan-badan tertentu. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Hery Haryadi, dosen Fakultas Hukum Unika (Anonim, 2001) bahwa terjadi penyusutan luas lahan produktif. Termasuk penguasaan tanah yang hanya dikuasai oleh segelintir orang. Kekhawatiran terbesar adalah akan melambungnya harga tanah. Untuk memperkecil aksees dari ketimpangan itu, dia menyatakan perlunya kesadaran akan aturan yang berlaku. Penegakan hukum yang menyangkut masalah tanah sangat dipwerlukan agar jangan sampai tanah dikuasai oleh orang atau badan tertentu saja. Bila itu terus berlanjut nanti akan banyak lahan yang sia-sia, sebab disebuah lingkungan perumahan tidak semua lahan tersebut digunakan. Padahal di sisi lain sekelompok masyarakat kecil kesulitan mencari tanah untuk bercocok tanam.
Oleh sebagian kalangan UUPA dipandang tidak mampu untuk mengatasi ketimpangan dalam penguasaan dan pemilikan tanah yang terjadi sekarang. Kebijakan pemerintah yang lebih mengejar pertumbuhan ekonomi telah menempatkan tanah sebagai asset yang memiliki nilai ekonomi tinggi, sehingga tak heran bila banyak pihak yang bermodal besar memborong tanag-tanah sebagai penanaman modal tabungannya. Penimbunan tanah-tanah demikian tentunya akan mengurangi daya produksi dipedesaan, karena berkurangnya kegiatan menggarap tanah atau tanah digunakan untuk kepentingan lain yang lebih menguntungkan.
Werner Roll (1981:70) menyatakan bahwa UUPA/Landreform yang diumumkan pada tahun 1961 -demikian juga dengan tindakan transmigrasi- tidak dapat mengatasi keadaan pincang antara pemilik tanah dan mereka yang tidak memiliki tanah.
Dalam perkembangannya pelaksanaan landreform di Indonesia pun mengalami stagnasi, tersendat-sendat, dan tidak tuntas, dimana hambatan utama pelaksanaan landreform adalah lemahnya kemauan politik dari pemerintah orde baru yang lebih mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Kebijakan ini kurang memberikan keberpihakan pada masyarakat golongan ekonomi lemah, termasuk petani yang memang membutuhkan tanah. Heru menyarankan kebijakan pertanahan dalam rangka landreform perlu ditinjau ulang .
Hal hampir senada dikemukakan oleh Erman Rajagukguk (1985:331) beberapa UU dan peraturan pelaksanaan UUPA sudah tiba waktunya mengalami perubahan, seperti pengurangan luas batas maksimum umpamanya meenjadi 2 ha dan batas minimum ½ ha amat diperlukan dengan alasan jika batas maksimum yang ada sekarang terus dipertahankan maka tidak akan banyak tanah kelebihan yang dapat dibagikan kepada petani gurem yang demikian besar jumlahnya.
Bila mencermati uraian di atas maka UUPA sebagai induk landreform pada dasarnya hanya berisikan hal-hal yang pokok saja, pengaturan secara khusus hanya dapat dijumpai dalam UU dan peraturan pelaksanaannya yang tentu saja dapat berubah atau disempurnakan dan kesemuanya bergantung pada situasi dan kondisi yang berkembang. Maka dengan perkembangan masyarakat sekarang ini serta meningkatnya kebutuhan akan tanah, program landreform harus dituntaskan pelaksanaannya yang tentu harus didukung oleh kemauan politik pemerintah, maka kebijakan pertanahan perlu untuk diperbaharui sesuai konsep pembaruan agrarian dan paradigma baru yang mendukung ekonomi kerakyatan, demokratis, dan partisipatif.

UUPA SEBAGAI INDUK LANDREFORM

Posted by Andi Sufiarma  |  4 comments

Oleh : Fia S. Aji (Kanwil BPN Gorontalo)

Setelah Indonesia merdeka, pemerintah Indonesia berupaya untuk memperbaharui tata hukum agraria yang berangkat dari cita-cita hasil pembentukan Negara baru, yakni menciptakan kesejahteraan rakyat, dengan menetapkan Undang-Undang Pokok Agraria No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Bagian yang cukup penting dari UUPA antara lain ialah yang bersangkutan dengan ketentuan-ketentuan landreform, seperti ketentuan mengenai luas maksimum-minimum hak atas tanah dan pembagian tanah kepada petani tak bertanah. Oleh Noer Fauzi (dalam Farida, 2002:1) menyatakan bahwa semenjak tanggal 24 September 1960, rakyat petani mempunyai kekuatan hukum untuk memperjuangkan haknya atas tanah, melakukan pembagian hasil yang adil dan mengolah tanahnya demi kemakmuran.
Bila ditinjau secara seksama maka akan jelaslah bahwa UUPA (terutama pasal 7, 10 dan 17) merupakan induk dari ketentuan landreform Indonesia, baik mulai dari menimbang hingga pasal 19 dan ketentuan-ketentuan Konversi Hak atas Tanah. Dengan membaca konsiderans maupun Penjelasan dari UUPA dan pasal 1 hingga pasal 19 UUPA, mapun Ketentuan Konversi akan jelas tentang penetapan dari landreform di Indonesia (A.P.Parlindungan, 1987:4).Sebagai tindak lanjut dari ketentuan pasal 17 UUPA tentang batas maksimum-minimum pemilikan tanah dikeluarkan Undang-Undang No.56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, dikenal sebagai UU Landreform. Kemudian terhadap pemberian ganti kerugian kepada bekas pemilik tanah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah No.224 tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian.
Perkembangan lebih lanjut dari landreform di Indonesia dalam pelaksanaannya mengalami stagnasi, tersendat-sendat dan tidak tuntas terkesan dianaktirikan dalam kebijakan pembangunan bahkan baru pada tahun 1978 kemudian tahun 1983 dalam GBHN secara tegas dinyatakan landreform sebagai suatu kemauan politik. Perubahan jaman dengan adanya liberalisasi perdagangan menempatkan tanah sebagai komoditi membuat masalah ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah semakin kompleks dimana rakyat terutama petani kecil diposisikan sebagai korban arus kapitalisme global. Fenomena di atas terlihat jelas, dimana rejim orde baru sejal awal langkah pemerintahannya telah meninggalkan roh dan semangat UUPA yang populis dan diganti dengan kebijakan memfasilitasi akumulasi modal.

Diundangkannya UU No.5/1960 (UUPA) mengakhiri dualisme hukum agraria yang ada sebelumnya berlaku di Indonesia, yakni Hukum Barat yang didasarkan pada Kitab undang-Undang Hukum Perdata dan Hukum Tanah Adat yang didasarkan pada prinsip-prinsip hukum penduduk sipil (adat) Indonesia.
Tujuan pokok dari diundangkannya UUPA adalah (i) meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional, yang merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat adil dan makmur, (ii) meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan, (iii) meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
Latar belakang dari agenda atau tujuan pokok dari UUPA di atas adalah karena realitas pengaturan hukum agraria yang diwariskan pemerintah jajahan sangat bertentangan dengan kepentingan rakyat dan bangsa, melahirkan sifat dualisme hukum agraria dan tidak memberikan jaminan kepastian hukum bagi rakyat asli Indonesia. Semua itu harus dihapus dan digantikan dengan semangat yang didasarkan pada kepentingan rakyat dan bangsa berdasar UUD 1945. Dari penjelasan UUPA itu menunjukkan bahwa UUPA adalah anti kapitalisme dan sebaliknya memiliki semangat kerakyatan (populis). Cita-cita UUPA adalah melaksanakan perubahan secara mendasar terhadap relasi agraria yang ada agar menjadi lebih adil dan memenuhi kepentingan rakyat petani. Terdapat tiga konsep dasar dalam UUPA (Anonim, 2002:3) yaitu:
hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat;
Eksistensi dan wewenang Negara sebagai organisasi tertinggi bangsa dinyatakan dalam Hak Menguasai Negara atas bumi, air, dan ruang angkasa sebagai penjabaran pasal 33 UUD 1945 yang digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat;
Pelaksanaan program landreform.
Asas-asas dan ketentuan pokok landreform dijumpai dalam UUPA. Landreform dalam arti sempit merupakan serangkaian tindakan dalam rangka Agraria Reform Indonesia (Boedi Harsono, 1999:350). Oleh Effendi Perangin (1986:121) membagi program landreform dalam arti sempit dan landreform dalam arti luas. Program landreform dalam arti luas biasa disebut Agraria atau Reform atau Panca Program yang meliputi:
Pembaharuan hukum agraria yaitu dengan mengadakan perombakan terhadap sendi-sendi hukum agraria lama yang tidak sesuai dengan kondisi dan situasi jaman dan menggantikan dengan perkembangan masyarakat modern.
Mengadakan penghapusan terhadap segala macam hak-hak asing konsesi colonial.
Mengakhiri kekuasaan tuan tanah dan para feodal atas tanah yang telah banyak melakukan pemerasan terhadap rakyat melalui penguasaan tanah.
Mengadakan perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan tanah serta berbagai hubungan hukum yang berkenaan dengan penguasaan tanah.
Mengadakan perencanaan, persediaan, peruntukan dan penggunaan tanah secara berencana sesuai dengan kemampuan dan perkembangan kemajuan. Sedangkan pengertian program landreform dalam arti sempit hanya mencakup program yang ke empat yang mencakup perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan tanah serta berbagai hubungan hukum yang berkenaan dengan penguasaan tanah.
UUPA sebagai induk dari program landreform di Indonesia maka beberapa pasal-pasal UUPA yang sangat berkaitan dengan landreform yaitu pasal 7, 10 dan 17. Untuk mencegah hak-hak perseorangan yang melampaui batas diatur secara tegas dalam pasal 7 yang berbunyi “untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan”. Ketentuan dalam pasal tersebut berhubungan dengan pasal-pasal lainnya seperti dalam pasal 10 yang menentukan bahwa setiap orang yang mempunyai suatu hak atas tanah pertanian pada asasnya wajib mengerjakan sendiri secara aktif. Oleh Sudargo Gautama (1980:23) dikatakan bahwa ketentuan pasal 10 ini hendak menghalangi terwujudnya tuan-tuan tanah yang tinggal di kota-kota besar, menunggu saja hasil tanah-tanah yang diolah dan digarap oleh orang yang berada di bawah perintah/kuasanya.
Selanjutnya dalam pasal 17 UUPA menunjuk kepada apa yang ditentukan dalam pasal 7 dan 10, maka pasal 17 mengemukakan tentang batas-batas maksimum luasnya tanah. Dengan adanya ketentuan ini dapat dihindarkan tertumpuknya tanah pada golongan-golongan tertentu saja. Dasar hukum yang tercantum di sini sejalan pula dengan tujuan landreform. Arman Makanu (2001:28) dikatakan bahwa pasal 17 UUPA ini juga mencerminkan ciri-ciri khas serta kebijaksanaan dalam pelaksanaan landreform di Indoensia yaitu pemberian/pembayaran ganti rugi oleh pemerintah kepada bekas pemilik tanah kelebihan dan tanah absentee. Oleh Boedi Harsono (1999:353) dikatakan bahwa tujuan landreform yang diselenggarakan di Indonesia adalah untuk mempertinggi penghasilan dan taraf hidup para petani terutama petani kecil dan petani penggarap tanah, sebagai landasan atau prasyarat untuk menyelenggarakan pembangunan ekonomi menuju masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
Dalam kerangka pencapaian tujuan keadilan sosial yang menjadi semangat dan roh UUPA pemerintah mengeluarkan berbagai peraturan hukum dibidang pertanahan, antara lain UU No.56 Prp 1960 sebagai pelaksanaan pasal 17 UUPA, UU No.2/1960 tentang Bagi Hasil, Peraturan Pemerintah (PP) No.24/1997 tentang Pendaftaran Tanah, PP No.224/1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Ganti Kerugian yang kesemuanya disiapkan untuk pelaksanaan program landreform.
Keberadaan aturan-aturan tersebut tidak menjamin bahwa program landreform dapat dilaksanakan secara maksimal, pergantian rejim pemerintahan tidak memperlancar program ini bahkan macet dalam pelaksanaannya, sebab prinsip yang digunakan oleh pemerintah yaitu tanah untuk sebesar-besarnya pertumbuhan ekonomi nasional. Aparatur militer juga diposisikan untuk mendukung proses ini dengan dasar asumsi bahwa pembangunan memerlukan stabilitas politik. Di sini konsep tanah berfungsi sosial (pasal 6 UUPA) semakin jauh, fungsi sosial itu dimaknakan dan dijadikan dasar legitimasi pembebasan tanah untuk kepentingan pembangunan industri.
Fenomena yang terjadi sekarang ini menunjukkan masih terjadinya penumpukan tanah oleh pihak tertentu, padahal pasal 7 UUPA mengatur tentang larangan menguasai tanah melampaui batas tertentu, sebab hal ini merugikan kepentingan umum, karena berhubung dengan terbatasnya persediaan tanah pertanian, khususnya didaerah yang berpenduduk padat. Kelangkaan tanah menyebabkan tanah memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi.
Kemudian dalam penjelasan umum UU No.56 Prp Tahun 1960 menetapkan bahwa untuk mempertinggi taraf hidup rakyat pada umumnya tidaklah cukup diadakan penetapan luas maksimum dan minimum saja, tetapi harus diikuti dengan pembagian tanah-tanah yang melebihi maksimum itu. Agar supaya dapat dicapai hasil sebagai yang diharapkan, maka usaha itu perlu disertai tindakan-tindakan lainnya misalnya pembukuan tanah, tanah pertanian baru, industrialisasi, transmigrasi, usaha untuk mempertinggi produktivitas, persediaan yang cukup dan dapat diperoleh pada waktunya dengan mudah dan murah serta tindakan-tindakan lainnya.
Ketimpangan dalam pemilikan dan penguasaan tanah semakin nampak jelas akibat dari tidak meratanya pendistribusian/pembagian tanah, hal ini dapat dilihat dari gejala, tanah-tanah tersebut terakumulasi di tangan orang atau badan-badan tertentu. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Hery Haryadi, dosen Fakultas Hukum Unika (Anonim, 2001) bahwa terjadi penyusutan luas lahan produktif. Termasuk penguasaan tanah yang hanya dikuasai oleh segelintir orang. Kekhawatiran terbesar adalah akan melambungnya harga tanah. Untuk memperkecil aksees dari ketimpangan itu, dia menyatakan perlunya kesadaran akan aturan yang berlaku. Penegakan hukum yang menyangkut masalah tanah sangat dipwerlukan agar jangan sampai tanah dikuasai oleh orang atau badan tertentu saja. Bila itu terus berlanjut nanti akan banyak lahan yang sia-sia, sebab disebuah lingkungan perumahan tidak semua lahan tersebut digunakan. Padahal di sisi lain sekelompok masyarakat kecil kesulitan mencari tanah untuk bercocok tanam.
Oleh sebagian kalangan UUPA dipandang tidak mampu untuk mengatasi ketimpangan dalam penguasaan dan pemilikan tanah yang terjadi sekarang. Kebijakan pemerintah yang lebih mengejar pertumbuhan ekonomi telah menempatkan tanah sebagai asset yang memiliki nilai ekonomi tinggi, sehingga tak heran bila banyak pihak yang bermodal besar memborong tanag-tanah sebagai penanaman modal tabungannya. Penimbunan tanah-tanah demikian tentunya akan mengurangi daya produksi dipedesaan, karena berkurangnya kegiatan menggarap tanah atau tanah digunakan untuk kepentingan lain yang lebih menguntungkan.
Werner Roll (1981:70) menyatakan bahwa UUPA/Landreform yang diumumkan pada tahun 1961 -demikian juga dengan tindakan transmigrasi- tidak dapat mengatasi keadaan pincang antara pemilik tanah dan mereka yang tidak memiliki tanah.
Dalam perkembangannya pelaksanaan landreform di Indonesia pun mengalami stagnasi, tersendat-sendat, dan tidak tuntas, dimana hambatan utama pelaksanaan landreform adalah lemahnya kemauan politik dari pemerintah orde baru yang lebih mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Kebijakan ini kurang memberikan keberpihakan pada masyarakat golongan ekonomi lemah, termasuk petani yang memang membutuhkan tanah. Heru menyarankan kebijakan pertanahan dalam rangka landreform perlu ditinjau ulang .
Hal hampir senada dikemukakan oleh Erman Rajagukguk (1985:331) beberapa UU dan peraturan pelaksanaan UUPA sudah tiba waktunya mengalami perubahan, seperti pengurangan luas batas maksimum umpamanya meenjadi 2 ha dan batas minimum ½ ha amat diperlukan dengan alasan jika batas maksimum yang ada sekarang terus dipertahankan maka tidak akan banyak tanah kelebihan yang dapat dibagikan kepada petani gurem yang demikian besar jumlahnya.
Bila mencermati uraian di atas maka UUPA sebagai induk landreform pada dasarnya hanya berisikan hal-hal yang pokok saja, pengaturan secara khusus hanya dapat dijumpai dalam UU dan peraturan pelaksanaannya yang tentu saja dapat berubah atau disempurnakan dan kesemuanya bergantung pada situasi dan kondisi yang berkembang. Maka dengan perkembangan masyarakat sekarang ini serta meningkatnya kebutuhan akan tanah, program landreform harus dituntaskan pelaksanaannya yang tentu harus didukung oleh kemauan politik pemerintah, maka kebijakan pertanahan perlu untuk diperbaharui sesuai konsep pembaruan agrarian dan paradigma baru yang mendukung ekonomi kerakyatan, demokratis, dan partisipatif.

Thursday, September 20, 2007 Share:

4 comments:

Oleh : Andi Sufiarma Mustamin, SH,MH
KANWIL BPN PROVINSI GORONTALO

Tanah merupakan modal dasar pembangunan, serta faktor penting dalam kehidupan masyarakat yang umumnya menggantungkan kehidupannya pada tanah. Tanah memiliki hubungan yang bersifat abadi dengan Negara dan rakyat. Masalah keagrariaan di Indonesia secara umum telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), yang di dalamnya diatur antara lain sejumlah hak yang dapat dimiliki oleh seseorang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain atas tanah seperti hak milik, hak guna-usaha (HGU), hak guna-bangunan (HGB), hak pakai, hak sewa dan hak-hak lainnya yang akan ditetapkan dengan undang-undang. Dalam penulisan ini, penulis hanya mengadakan pembahasan terhadap hak pakai terutama dikaitkan dengan adanya sejumlah peraturan baru yang mengatur tentang kedudukan hak pakai tersebut. Hak Pakai dalam UUPA pengaturannya dapat ditemui dalam 4 (empat) pasal yaitu pasal 16, pasal 41, pasal 42, dan pasal 43. yang menyatakan bahwa hak pakai merupakan hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya yang bukan perjanjian sewa menyewa atau penjanjian pengolahan tanah.

Ciri yang membedakan hak pakai dengan Hak Milik, HGU, HGB maka hak pakai dapat juga dipunyai oleh orang-orang asing asal ia bertempat tinggal di Indonesia dan badan-badan hukum asing asal memiliki perwakilan di Indonesia. Ini menunjukkan bahwa hak pakai telah ditempatkan sebagai hak yang potensial dalam upaya menunjang pelaksanaan pembangunan.

Dalam perkembangannya pengaturan tentang hak pakai telah mengalami sejumlah perubahan. Bila dalam UUPA hak pakai tidak ditunjuk sebagai obyek hak tanggungan karena dalam ketentuan UUPA tidak diatur bahwa hak pakai itu termasuk hak atas tanah yang wajib didaftar dan karena itu tidak memenuhi syarat publisitas untuk dijadikan jaminan hutang, namun dalam perkembangannya dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Agraria No.1 Tahun 1966, dikatakan bahwa agar hak pakai mudah dipertahankan terhadap gangguan pihak lain, maka hak pakai itu perlu didaftarkan.

Diundangkannya UU Nomor 4 Tahun 1996 (Undang-Undang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah), disingkat UUHT telah memberi wajah baru bagi pengaturan hak pakai di Indonesia. Dalam amanat pasal 51 UUPA, hak atas tanah yang ditunjuk sebagai obyek hak tanggungan adalah Hak Milik, HGU, HGB. Bila dalam UUPA dikatakan bahwa hak pakai tidak dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani hak tanggungan, maka dengan berlakunya UUHT hak pakai dapat digunakan sebagai obyek hak tanggungan asalkan hak pakai tersebut didaftar pada kantor pertanahan.

Satrio (1997:179) mengemukakan bahwa dengan adanya pasal 4 ayat (2) UUHT diberikan suatu ketentuan yang memungkinkan hak pakai dijadikan sebagai obyek hak tanggungan. Ini merupakan suatu ketentuan yang baru karena selama ini belum ada ketentuan yang memungkinkan hak pakai dijadikan sebagai obyek hipotik. Apalagi dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang HGU, HGB dan Hak Pakai Atas Tanah, yang mewajibkan semua hak pakai didaftarkan pada buku tanah kantor pertanahan, ini semakin membuka peluang untuk digunakannya hak pakai sebagai jaminan kredit. Melihat perkembangan pengaturan tentang hak pakai ini apalagi dengan ditempatkannya hak pakai sebagai obyek hak tanggungan mencerminkan bahwa hak pakai dipandang sangat bermanfaat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama bagi masyarakat kecil serta pemberian hak pakai bagi orang asing akan menarik minat pemodal asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia yang akan bermanfaat bagi pembangunan di Indonesia.

Fenomena yang ada di masyarakat adalah seringkali terjadi tindakan penyalahgunaan pemanfaatan hak pakai ini oleh orang asing (bahkan sebelum dikeluarkannya UU dan PP baru tersebut) seperti upaya “penyelundupan hukum” yang dilakukan orang asing dengan cara mengawini warga Negara Indonesia untuk tujuan memperoleh hak pakai atas tanah di Indonesia guna kegiatan usahanya . Kemudian setelah keluarnya UU dan PP baru itupun masih ada upaya pemanfaatan modal yang telah diperoleh dengan memanfaatkan hak pakai sebagai obyek hak tanggungan, dengan menginvestasikan modal itu ke luar negeri, jelas hal ini tidak sesuai dengan amanat dalam pemberian hak pakai itu, yaitu modal yang diperoleh haruslah digunakan untuk menunjang kegiatan pembangunan di Indonesia. Hal seperti itu masih sulit untuk dicegah karena masih kurangnya tindakan pengawasan dari aparat penegak hukum terhadap tindakan-tindakan hukum sehubungan dengan pemanfaatan hak pakai yang tidak sesuai dengan peruntukannya.

Pengaturan status tanah dengan hak pakai yang diatur dalam berbagai peraturan perundangan diharapkan akan berjalan sesuai dengan yang diharapkan terutama dalam upaya penegakan hukum guna mencapai tujuan hukum itu sendiri yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Namun masih harus dilihat dalam perkembangannya agar hak pakai itu dapat digunakan sesuai dengan peruntukkannya sekaligus dijadikan sebagai usaha untuk memenuhi tuntutan pembangunan.

Pembangunan dilaksanakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam rangka menuju masyarakat adil dan makmur. Tanah merupakan salah satu modal dasar dalam melaksanakan pembangunan. Sehingga masalah pertanahan harus mendapat pengaturan tersendiri untuk mencegah timbulnya pembenturan berbagai kepentingan yang dapat menghambat pembangunan.

Pengaturan tentang tanah dalam bentuk pemberian hak-hak atas tanah sesuai dengan ketentuan yang berlaku kepada orang atau badan hukum dalam menjalankan usaha-usaha yang telah direncanakan. Hak pakai sebagai salah satu hak atas tanah yang diberikan pada seseorang atau badan hukum pada mulanya hanya terbatas pada beberapa aspek, namun dalam perkembangannya hak pakai ini juga diperuntukkan untuk usaha-usaha dibidang perbankan, bagi orang asing dan sebagainya.
Terbitnya UU No. 4/1996 yang disebut UUHT telah menentukan suatu konsep baru mengenai obyek hak tanggungan. Dalam pasal 4 ayat (2) ditentukan bahwa selain hak-hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu hak milik, HGU, HGB maka hak pakai atas tanah Negara (HAPTN) yang menurut ketentuan yang berlaku yang wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan dapat juga dibebani hak tanggungan.

Jadi pada prinsipnya obyek hak tanggungan adalah hak atas tanah yang memenuhi dua persyaratan yakni wajib didaftarkan untuk (untuk memenuhi syarat publisitas) dan dapat dipindahtangankan (untuk memudahkan pelaksanaan pembayaran utang yang dijamin pelunasannya.Hal ini seperti yang dikatakan oleh Satrio yang menyebutkan bahwa dengan adanya pasal 4 ayat (2) UUHT, diberikan suatu ketentuan yang memungkinkan hak pakai dijadikan sebagai obyek hak tanggungan. Ini merupakan suatu ketentuan yang baru karena selama ini belum ada ketentuan yang memungkinkan hak pakai dijadikan sebagai obyek hak tanggungan. ( Satrio J, 1997:179).

Pernyataan bahwa hak pakai dapat dijadikan obyek hak tanggungan bukan merupakan perubahan UUPA, melainkan penyesuaian ketentuannya dengan perkembangan hak pakai itu sendiri serta kebutuhan masyarakat. (Harsono, Boedi, 1999:409).
Selain itu hak pakai yang digunakan sebagai jaminan dengan hak tanggungan hanya diberikan untuk hak pakai yang berasal dari Negara. Dalam perkembangannya hak pakai tidak lagi dibedakan atas hak yang diberikan oleh Negara, hak pengelolaan atau hak milik akan tetapi semua hak pakai tersebut wajib didaftar pada kantor pertanahan, dengan demikian PP No. 40/1996 lebih membuka peluang untuk digunakannya hak pakai sebagai jaminan kredit.

Penunjukkan hak pakai atas tanah Negara sebagai obyek hak tanggungan, selain karena telah memenuhi dua syarat yang telah disebutkan sebelumnya di atas, terutama didasari pada tujuan memenuhi kebutuhan masyarakat terutama kalangan menengah ke bawah yang mempunyai tanah dengan hak pakai dan belum mampu untuk meningkatkannya menjadi HGB atau hak milik, sehingga ini akan memberi kesempatan bagi mereka untuk meminjam uang dengan hak pakai atas tanahnya sebagai jaminan.

Dengan dikeluarkannya PP No. 40/1996 pada pasal 43 yang mewajibkan semua hak pakai untuk didaftarkan pada buku tanah kantor pertanahan, maka secara otomatis obyek hak tanggungan tidak lagi dibedakan atas hak pakai dari tanah pemerintah, hak pengelolaan maupun hak milik yang penting hak pakai tersebut didaftar maka dapat digunakan sebagai jaminan kredit.

Selain dalam PP tersebut, status hak pakai yang digunakan sebagai jaminan kredit juga dicantumkan dalam penjelasan umum UU No.4/1996 yang menyebutkan bahwa dengan dikeluarkannya UU ini selain mewujudkan unifikasi hukum tanah nasional, maka hal yang penting adalah bahwa dengan ditunjuknya hak pakai sebagai obyek hak tanggungan, bagi para pemegang haknya yang sebagian besar terdiri dari golongan ekonomi lemah yang tidak berkemampuan untuk mempunyai tanah dengan hak milik atau hak guna bangunan, menjadi terbuka kemungkinan untuk memperoleh kredit yang diperlukan, dengan menggunakan tanah yang dipunyainya sebagai jaminan.

Selain itu hak pakai atas tanah Negara walaupun wajib didaftar tetapi karena sifat yang tidak dapat dipindahtangankan, seperti hak pakai atas nama pemerintah, hak pakai atas nama badan keagamaan dan sosial dan hak pakai atas nama perwakilan Negara asing yang berlakunya tidak ditentukan jangka waktunya dan diberikan selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu, bukan merupakan obyek hak tanggungan.

Dengan ditempatkannya hak pakai sebagai obyek hak tanggungan ini mencerminkan bahwa hak pakai sangat bermanfaat dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam artian bahwa dengan adanya hak pakai sebagai obyek hak tanggungan, maka pemegang hak yang pada umumnya masyarakat kecil dapat memperoleh pinjaman pada lembaga keuangan guna mendapatkan modal bagi peningkatan usaha mereka, dengan demikian maka kesejahteraan masyarakat kecil dapat ditingkatkan pada taraf kesejahteraan yang lebih baik. Kontribusi lain yang dapat dimiliki dengan pemberian hak pakai yakni untuk mencegah terlantarnya suatu bidang tanah. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang berlaku yang melarang orang atau badan hukum yang menelantarkan tanah. Bila ada tanah yang ditelantarkan atau tidak diolah secara produktif sesuai dengan peruntukan yang diberikan maka tanah tersebut tidak akan mendatangkan manfaat, baik bagi pemilik tanah maupun bagi Negara. Oleh karena itu jika terdapat tanah yang ditelantarkan, sebaiknya tanah tersebut diberikan kepada masyarakat yang tidak mempunyai tanah untuk digarap. Kecenderungan ini telah diantisipasi pemerintah dengan dikeluarkannya Kepmen No. 3/1998 yang mengambil/meminta kepada para pemegang hak atas tanah (developer) yang tanahnya belum digunakan diberikan kepada masyarakat untuk digarap atau ditanami dengan tanaman jangka pendek.

Hal lain yang merupakan kemajuan yakni pemberian hak bagi orang asing. Dalam majalah Properti No. 23 tahun 1995, kepala BPN menjelaskan bahwa HPATN (Hak Pakai Atas Tanah Negara) itu dijadikan obyek hak tanggungan adalah dalam rangkaian memberi peluang bagi orang asing untuk memiliki bangunan yang dibangun di atas HPATN. Dengan ditentukannya HPATN dapat dijadikan obyek hak tanggungan, maka orang asing dan badan hukum asing dapat menjadikannya jaminan kredit. Pemberian hak pakai bagi orang asing dimaksudkan sebagai strategi untuk menarik minat investor asing untuk melakukan penanaman modal di Indonesia. Namun oleh Mariam D. Badrulzaman, tidak melihat hal ini sebagai sesuatu yang positif, karena mereka justru diharapkan membawa dana ke Indonesia dengan dan bukan memperoleh dana dengan memanfaatkan tanah milik Negara dan menjaminkannya kepada bank atau pihak ketiga (Badrulzaman, Mariam D, 1997:33).

Bagi orang asing harus memenuhi sejumlah persyaratan untuk dapat menjadi subyek hak pakai, demikian juga dengan mereka yang ingin mengajukan permohonan kredit dengan hak pakai, dimana dalam peraturan perbankan ditetapkan antara lain bahwa orang asing tersebut harus sudah bertempat tinggal di Indonesia dalam jangka waktu tertentu, mempunyai usaha di Indonesia, dan kredit yang bersangkutan dipergunakan untuk kepentingan pembangunan di wilayah Negara Republik Indonesia.

Akhirnya walaupun keberadaan hak pakai dalam perkembangannya telah mengalami kemajuan yang cukup baik terutama dari segi penegasan pengaturannya guna memberi perlindungan hukum bagi masyarakat dan merupakan jaminan kepastian hukum dalam bidang hak-hak atas tanah, namun masih harus dilihat bagaimana wujud nyata pelaksanaannya dalam masyarakat, untuk itu sudah tentu diperlukan peran serta aparat penegak hukum dan masyarakat dalam upaya mendayagunakan hak pakai ini sesuai dengan peruntukannya seperti yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan maupun peraturan pelaksanaannya.
Sertifikat Tanah

Peran Hak Pakai Dalam Pembangunan

Posted by Andi Sufiarma  |  3 comments

Oleh : Andi Sufiarma Mustamin, SH,MH
KANWIL BPN PROVINSI GORONTALO

Tanah merupakan modal dasar pembangunan, serta faktor penting dalam kehidupan masyarakat yang umumnya menggantungkan kehidupannya pada tanah. Tanah memiliki hubungan yang bersifat abadi dengan Negara dan rakyat. Masalah keagrariaan di Indonesia secara umum telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), yang di dalamnya diatur antara lain sejumlah hak yang dapat dimiliki oleh seseorang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain atas tanah seperti hak milik, hak guna-usaha (HGU), hak guna-bangunan (HGB), hak pakai, hak sewa dan hak-hak lainnya yang akan ditetapkan dengan undang-undang. Dalam penulisan ini, penulis hanya mengadakan pembahasan terhadap hak pakai terutama dikaitkan dengan adanya sejumlah peraturan baru yang mengatur tentang kedudukan hak pakai tersebut. Hak Pakai dalam UUPA pengaturannya dapat ditemui dalam 4 (empat) pasal yaitu pasal 16, pasal 41, pasal 42, dan pasal 43. yang menyatakan bahwa hak pakai merupakan hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya yang bukan perjanjian sewa menyewa atau penjanjian pengolahan tanah.

Ciri yang membedakan hak pakai dengan Hak Milik, HGU, HGB maka hak pakai dapat juga dipunyai oleh orang-orang asing asal ia bertempat tinggal di Indonesia dan badan-badan hukum asing asal memiliki perwakilan di Indonesia. Ini menunjukkan bahwa hak pakai telah ditempatkan sebagai hak yang potensial dalam upaya menunjang pelaksanaan pembangunan.

Dalam perkembangannya pengaturan tentang hak pakai telah mengalami sejumlah perubahan. Bila dalam UUPA hak pakai tidak ditunjuk sebagai obyek hak tanggungan karena dalam ketentuan UUPA tidak diatur bahwa hak pakai itu termasuk hak atas tanah yang wajib didaftar dan karena itu tidak memenuhi syarat publisitas untuk dijadikan jaminan hutang, namun dalam perkembangannya dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Agraria No.1 Tahun 1966, dikatakan bahwa agar hak pakai mudah dipertahankan terhadap gangguan pihak lain, maka hak pakai itu perlu didaftarkan.

Diundangkannya UU Nomor 4 Tahun 1996 (Undang-Undang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah), disingkat UUHT telah memberi wajah baru bagi pengaturan hak pakai di Indonesia. Dalam amanat pasal 51 UUPA, hak atas tanah yang ditunjuk sebagai obyek hak tanggungan adalah Hak Milik, HGU, HGB. Bila dalam UUPA dikatakan bahwa hak pakai tidak dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani hak tanggungan, maka dengan berlakunya UUHT hak pakai dapat digunakan sebagai obyek hak tanggungan asalkan hak pakai tersebut didaftar pada kantor pertanahan.

Satrio (1997:179) mengemukakan bahwa dengan adanya pasal 4 ayat (2) UUHT diberikan suatu ketentuan yang memungkinkan hak pakai dijadikan sebagai obyek hak tanggungan. Ini merupakan suatu ketentuan yang baru karena selama ini belum ada ketentuan yang memungkinkan hak pakai dijadikan sebagai obyek hipotik. Apalagi dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang HGU, HGB dan Hak Pakai Atas Tanah, yang mewajibkan semua hak pakai didaftarkan pada buku tanah kantor pertanahan, ini semakin membuka peluang untuk digunakannya hak pakai sebagai jaminan kredit. Melihat perkembangan pengaturan tentang hak pakai ini apalagi dengan ditempatkannya hak pakai sebagai obyek hak tanggungan mencerminkan bahwa hak pakai dipandang sangat bermanfaat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama bagi masyarakat kecil serta pemberian hak pakai bagi orang asing akan menarik minat pemodal asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia yang akan bermanfaat bagi pembangunan di Indonesia.

Fenomena yang ada di masyarakat adalah seringkali terjadi tindakan penyalahgunaan pemanfaatan hak pakai ini oleh orang asing (bahkan sebelum dikeluarkannya UU dan PP baru tersebut) seperti upaya “penyelundupan hukum” yang dilakukan orang asing dengan cara mengawini warga Negara Indonesia untuk tujuan memperoleh hak pakai atas tanah di Indonesia guna kegiatan usahanya . Kemudian setelah keluarnya UU dan PP baru itupun masih ada upaya pemanfaatan modal yang telah diperoleh dengan memanfaatkan hak pakai sebagai obyek hak tanggungan, dengan menginvestasikan modal itu ke luar negeri, jelas hal ini tidak sesuai dengan amanat dalam pemberian hak pakai itu, yaitu modal yang diperoleh haruslah digunakan untuk menunjang kegiatan pembangunan di Indonesia. Hal seperti itu masih sulit untuk dicegah karena masih kurangnya tindakan pengawasan dari aparat penegak hukum terhadap tindakan-tindakan hukum sehubungan dengan pemanfaatan hak pakai yang tidak sesuai dengan peruntukannya.

Pengaturan status tanah dengan hak pakai yang diatur dalam berbagai peraturan perundangan diharapkan akan berjalan sesuai dengan yang diharapkan terutama dalam upaya penegakan hukum guna mencapai tujuan hukum itu sendiri yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Namun masih harus dilihat dalam perkembangannya agar hak pakai itu dapat digunakan sesuai dengan peruntukkannya sekaligus dijadikan sebagai usaha untuk memenuhi tuntutan pembangunan.

Pembangunan dilaksanakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam rangka menuju masyarakat adil dan makmur. Tanah merupakan salah satu modal dasar dalam melaksanakan pembangunan. Sehingga masalah pertanahan harus mendapat pengaturan tersendiri untuk mencegah timbulnya pembenturan berbagai kepentingan yang dapat menghambat pembangunan.

Pengaturan tentang tanah dalam bentuk pemberian hak-hak atas tanah sesuai dengan ketentuan yang berlaku kepada orang atau badan hukum dalam menjalankan usaha-usaha yang telah direncanakan. Hak pakai sebagai salah satu hak atas tanah yang diberikan pada seseorang atau badan hukum pada mulanya hanya terbatas pada beberapa aspek, namun dalam perkembangannya hak pakai ini juga diperuntukkan untuk usaha-usaha dibidang perbankan, bagi orang asing dan sebagainya.
Terbitnya UU No. 4/1996 yang disebut UUHT telah menentukan suatu konsep baru mengenai obyek hak tanggungan. Dalam pasal 4 ayat (2) ditentukan bahwa selain hak-hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu hak milik, HGU, HGB maka hak pakai atas tanah Negara (HAPTN) yang menurut ketentuan yang berlaku yang wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan dapat juga dibebani hak tanggungan.

Jadi pada prinsipnya obyek hak tanggungan adalah hak atas tanah yang memenuhi dua persyaratan yakni wajib didaftarkan untuk (untuk memenuhi syarat publisitas) dan dapat dipindahtangankan (untuk memudahkan pelaksanaan pembayaran utang yang dijamin pelunasannya.Hal ini seperti yang dikatakan oleh Satrio yang menyebutkan bahwa dengan adanya pasal 4 ayat (2) UUHT, diberikan suatu ketentuan yang memungkinkan hak pakai dijadikan sebagai obyek hak tanggungan. Ini merupakan suatu ketentuan yang baru karena selama ini belum ada ketentuan yang memungkinkan hak pakai dijadikan sebagai obyek hak tanggungan. ( Satrio J, 1997:179).

Pernyataan bahwa hak pakai dapat dijadikan obyek hak tanggungan bukan merupakan perubahan UUPA, melainkan penyesuaian ketentuannya dengan perkembangan hak pakai itu sendiri serta kebutuhan masyarakat. (Harsono, Boedi, 1999:409).
Selain itu hak pakai yang digunakan sebagai jaminan dengan hak tanggungan hanya diberikan untuk hak pakai yang berasal dari Negara. Dalam perkembangannya hak pakai tidak lagi dibedakan atas hak yang diberikan oleh Negara, hak pengelolaan atau hak milik akan tetapi semua hak pakai tersebut wajib didaftar pada kantor pertanahan, dengan demikian PP No. 40/1996 lebih membuka peluang untuk digunakannya hak pakai sebagai jaminan kredit.

Penunjukkan hak pakai atas tanah Negara sebagai obyek hak tanggungan, selain karena telah memenuhi dua syarat yang telah disebutkan sebelumnya di atas, terutama didasari pada tujuan memenuhi kebutuhan masyarakat terutama kalangan menengah ke bawah yang mempunyai tanah dengan hak pakai dan belum mampu untuk meningkatkannya menjadi HGB atau hak milik, sehingga ini akan memberi kesempatan bagi mereka untuk meminjam uang dengan hak pakai atas tanahnya sebagai jaminan.

Dengan dikeluarkannya PP No. 40/1996 pada pasal 43 yang mewajibkan semua hak pakai untuk didaftarkan pada buku tanah kantor pertanahan, maka secara otomatis obyek hak tanggungan tidak lagi dibedakan atas hak pakai dari tanah pemerintah, hak pengelolaan maupun hak milik yang penting hak pakai tersebut didaftar maka dapat digunakan sebagai jaminan kredit.

Selain dalam PP tersebut, status hak pakai yang digunakan sebagai jaminan kredit juga dicantumkan dalam penjelasan umum UU No.4/1996 yang menyebutkan bahwa dengan dikeluarkannya UU ini selain mewujudkan unifikasi hukum tanah nasional, maka hal yang penting adalah bahwa dengan ditunjuknya hak pakai sebagai obyek hak tanggungan, bagi para pemegang haknya yang sebagian besar terdiri dari golongan ekonomi lemah yang tidak berkemampuan untuk mempunyai tanah dengan hak milik atau hak guna bangunan, menjadi terbuka kemungkinan untuk memperoleh kredit yang diperlukan, dengan menggunakan tanah yang dipunyainya sebagai jaminan.

Selain itu hak pakai atas tanah Negara walaupun wajib didaftar tetapi karena sifat yang tidak dapat dipindahtangankan, seperti hak pakai atas nama pemerintah, hak pakai atas nama badan keagamaan dan sosial dan hak pakai atas nama perwakilan Negara asing yang berlakunya tidak ditentukan jangka waktunya dan diberikan selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu, bukan merupakan obyek hak tanggungan.

Dengan ditempatkannya hak pakai sebagai obyek hak tanggungan ini mencerminkan bahwa hak pakai sangat bermanfaat dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam artian bahwa dengan adanya hak pakai sebagai obyek hak tanggungan, maka pemegang hak yang pada umumnya masyarakat kecil dapat memperoleh pinjaman pada lembaga keuangan guna mendapatkan modal bagi peningkatan usaha mereka, dengan demikian maka kesejahteraan masyarakat kecil dapat ditingkatkan pada taraf kesejahteraan yang lebih baik. Kontribusi lain yang dapat dimiliki dengan pemberian hak pakai yakni untuk mencegah terlantarnya suatu bidang tanah. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang berlaku yang melarang orang atau badan hukum yang menelantarkan tanah. Bila ada tanah yang ditelantarkan atau tidak diolah secara produktif sesuai dengan peruntukan yang diberikan maka tanah tersebut tidak akan mendatangkan manfaat, baik bagi pemilik tanah maupun bagi Negara. Oleh karena itu jika terdapat tanah yang ditelantarkan, sebaiknya tanah tersebut diberikan kepada masyarakat yang tidak mempunyai tanah untuk digarap. Kecenderungan ini telah diantisipasi pemerintah dengan dikeluarkannya Kepmen No. 3/1998 yang mengambil/meminta kepada para pemegang hak atas tanah (developer) yang tanahnya belum digunakan diberikan kepada masyarakat untuk digarap atau ditanami dengan tanaman jangka pendek.

Hal lain yang merupakan kemajuan yakni pemberian hak bagi orang asing. Dalam majalah Properti No. 23 tahun 1995, kepala BPN menjelaskan bahwa HPATN (Hak Pakai Atas Tanah Negara) itu dijadikan obyek hak tanggungan adalah dalam rangkaian memberi peluang bagi orang asing untuk memiliki bangunan yang dibangun di atas HPATN. Dengan ditentukannya HPATN dapat dijadikan obyek hak tanggungan, maka orang asing dan badan hukum asing dapat menjadikannya jaminan kredit. Pemberian hak pakai bagi orang asing dimaksudkan sebagai strategi untuk menarik minat investor asing untuk melakukan penanaman modal di Indonesia. Namun oleh Mariam D. Badrulzaman, tidak melihat hal ini sebagai sesuatu yang positif, karena mereka justru diharapkan membawa dana ke Indonesia dengan dan bukan memperoleh dana dengan memanfaatkan tanah milik Negara dan menjaminkannya kepada bank atau pihak ketiga (Badrulzaman, Mariam D, 1997:33).

Bagi orang asing harus memenuhi sejumlah persyaratan untuk dapat menjadi subyek hak pakai, demikian juga dengan mereka yang ingin mengajukan permohonan kredit dengan hak pakai, dimana dalam peraturan perbankan ditetapkan antara lain bahwa orang asing tersebut harus sudah bertempat tinggal di Indonesia dalam jangka waktu tertentu, mempunyai usaha di Indonesia, dan kredit yang bersangkutan dipergunakan untuk kepentingan pembangunan di wilayah Negara Republik Indonesia.

Akhirnya walaupun keberadaan hak pakai dalam perkembangannya telah mengalami kemajuan yang cukup baik terutama dari segi penegasan pengaturannya guna memberi perlindungan hukum bagi masyarakat dan merupakan jaminan kepastian hukum dalam bidang hak-hak atas tanah, namun masih harus dilihat bagaimana wujud nyata pelaksanaannya dalam masyarakat, untuk itu sudah tentu diperlukan peran serta aparat penegak hukum dan masyarakat dalam upaya mendayagunakan hak pakai ini sesuai dengan peruntukannya seperti yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan maupun peraturan pelaksanaannya.

Thursday, September 20, 2007 Share:

3 comments:

Arsip

Hubungi Kami

Name

Email *

Message *

back to top