Oleh : Andi Sufiarma Mustamin, SH,MH
Kantor Pertanahan Kabupaten Maros.
Kantor Pertanahan Kabupaten Maros.
Tanah merupakan salah satu kebutuhan vital bagi masyarakat. Peran penting dari tanah dapat dilihat dalam pengaturan konstitusi negara Republik Indonesia pada Pasal 33 yang menegaskan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Salah satu upaya yang dilaksanakan untuk dapat mewujudkan tujuan sebesar-besar kemakmuran rakyat ini adalah dengan membentuk Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok-pokok Agraria (Undang-undang Pokok Agraria, selanjutnya disingkat UUPA)
Tujuan pengaturan pertanahan dalam UUPA adalah dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum bagi pemilik tanah dan untuk memberikan jaminan kepastian hukum maka dilaksanakan suatu mekanisme pendaftaran tanah di seluruh Indonesia. Pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, memberikan rumusan mengenai pengertian pendaftaran tanah. Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian sertipikat sebagai surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah.
Tujuan pendaftaran tanah dalam PP No. 24 Tahun 1997 adalah memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum, menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan terselenggaranya tertib administrasi pertanahan. Pasal 4 PP No. 24 Tahun 1997 selanjutnya menegaskan bahwa “untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a kepada pemegang hak yang bersangkutan diberikan sertipikat hak atas tanah”. Jadi dapat dikatakan bahwa upaya untuk mewujudkan kepastian terhadap hak-hak atas tanah dilaksanakan antara lain dengan penerbitan suatu dokumen yang mempunyai kekuatan hukum yang sempurna yakni sertipikat hak atas tanah.
Definisi formal sertipikat dapat dilihat dari Pasal 19 ayat (2) UUPA menegaskan bahwa sertipikat adalah surat tanda bukti hak atas tanah yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Sertipikat sebagai surat bukti tanda hak, diterbitkan untuk kepentingan pemegang hak yang bersangkutan, sesuai dengan data fisik yang ada dalam surat ukur dan data yuridis yang telah di daftar dalam buku tanah.
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 merumuskan bahwa sertipikat adalah satu lembar dokumen sebagai surat tanda bukti hak yang memuat data fisik dan data yuridis objek yang di daftar untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing di bukukan dalam buku tanah.
Keberadaan sertipikat hak atas tanah sebagai surat tanda bukti hak memiliki kekuatan sempurna. Hal ini berarti bahwa selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya data fisik dan data yuridis yang tercantum di dalamnya harus diterima sebagai data yang benar. Parlindungan mengemukakan bahwa pasal 19 UUPA menyatakan bahwa sertifikat adalah sebagai alat pembuktian yang kuat, sehingga setiap orang dapat mempermasalahkan tentang kebenaran sertifikat tanahnya, dan jika dapat dibuktikan ketidakbenaran dari hak atas tanah tersebut, maka sertifikat dapat dibatalkan oleh Pengadilan dan Kepala BPN dapat memerintahkan hal tersebut. (Parlindungan, 1999).
Defenisi pembatalan hak atas tanah yang diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 9 Tahun 1999 tentang Pemberian dan Pembatalan Hak Milik atas Tanah Negara masih dapat digunakan mengingat aturan peralihan dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional (Perkaban) No. 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan yakni dalam Pasal 84 menegaskan bahwa Ketentuan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan, sepanjang mengatur tata cara pembatalan Hak Atas Tanah Negara yang bertentangan dengan Peraturan ini dan defenisi pembatalan hak yang terdapat dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999; tidak bertentangan dengan substansi hukum yang ada dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional (Perkaban) No. 3 Tahun 2011.
Ketentuan dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional (Perkaban) No. 3 Tahun 2011 tidak secara khusus mengatur mengenai pembatalan hak atas tanah namun diatur dalam ketentuan mengenai penyelesaian kasus pertanahan pada Bab VII dengan memberikan pengaturan bahwa penyelesaian kasus pertanahan pada dasarnya ada 2 (dua) yaitu 1) pelaksanaan putusan pengadilan dan 2) penyelesaian kasus pertanahan di luar pengadilan. Pelaksanaan putusan pengadilan serta penyelesaian kasus pertanahan di luar pengadilan dapat melahirkan perbuatan hukum berupa pembatalan sertipikat hak atas tanah sehingga dapat dikatakan bahwa jika didasarkan pada Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional (Perkaban) No. 3 Tahun 2011 maka pembatalan hak atas tanah dapat dilakukan dengan 2 (cara) yakni 1) berdasarkan putusan pengadilan dan 2) tidak berdasarkan putusan pengadilan. Pasal 55 Perkaban No. 3 Tahun 2011 menegaskan bahwa Tindakan untuk melaksanakan putusan pengadilan yang tela memperoleh kekuatan hukum tetap, dapat berupa pelaksanaan dari seluruh amar putusan, pelaksanaan sebagian amar putusan dan/atauhanya melaksanakan perintah yang secara tegas tertulis pada amar putusan. Selanjutnya dalam ayat (2) ditegaskan bahwa amar putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, yang berkaitan dengan penerbitan, peralihan dan/atau pembatalan hak atas tanah, antara lain perintah untuk membatalkan hak atas tanah, menyatakan batal/tidak sah/tidak mempunyai kekuatan hukum hak atas tanah, menyatakan tanda bukti hak tidak sah/tidak berkekuatan hukum, perintah dilakukannya pencatatan atau pencoretan dalam buku tanah, perintah penerbitan hak atas tanah dan amar yang bermakna menimbulkan akibat hukum terbitnya, beralihnya atau batalnya hak.
Selanjutnya, Paragraf 2 tentang Proses Perbuatan Hukum Administrasi Pertanahan Terhadap Keputusan/Surat Cacat Hukum Administrasi dalam Pasal 64 ayat (3) menyebutkan bahwa Surat permohonan/usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri data pendukung antara lain, sertipikat hak atas tanah yang kedapatan cacat hukum administrasi, hasil pengolahan data yang membuktikan adanya cacat hukum administrasi, salinan amar putusan pengadilan atau pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan yang substansinya menyatakan tidak sah dan/ atau palsu dokumen yang digunakan dalam proses penerbitan sertipikat hak atas tanah, surat-surat lain yang mendukung alasan permohonan pembatalan.
Menghubungkan antara kedua pasal di atas penulis menyimpulkan bahwa Perkaban No. 3 Tahun 2011 pada dasarnya memberikan pengaturan bahwa Pembatalan Sertipikat Hak atas Tanah yang didasarkan pada Putusan Pengadilan yang tidak secara tegas menyatakan batal sertipikat tetapi memiliki amar yang bermakna menimbulkan akibat hukum terbitnya, beralihnya atau batalnya hak dikategorikan sebagai pembatalan sertipikat hak atas tanah karena cacat admnistrasi sebagaiman dapat dilihat pada Pasal 6 ayat (3) huruf c yang memberikan pengaturan bahwa salah satu syarat dalam pengajuan pembatalan sertipikat karena cacat admnistrasi adalah salinan amar putusan pengadilan atau pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan yang substansinya menyatakan tidak sah dan/ atau palsu dokumen yang digunakan dalam proses penerbitan sertipikat hak atas tanah;
Ketentuan dalam Pasal 64 ayat (3) Perkaban No. 3 Tahun 2011 berarti pula bahwa pembatalan hak berdasarkan putusan pengadilan umum baik perdata maupun pidana dikategorikan sebagai pembatalan hak karena cacat admnistrasi dan hanya Putuan Peradilan Tata Usaha Negara yang dikategorikan sebagai cacat hukum karena hanya Putusan PTUN yang secara tegas memerintahkan pembatalan sertipikat hak atas sehingga pengkategorian lain mengenai pembatalan hak dalam perkaban No. 3 tahun 2011 menurut penulis dalah 1) pelaksanaan putusan pengadilan yang menyatakan batal sertipikat dan 2) pembatalan karena cacat admnistrasi yang terbagi menjadi 2 (dua) jenis yakni berdasarkan putusan pengadilan dan berdasarkan penelitian oleh Badan Pertanahan Nasional dan pembatalan hak tanpa melalui Putusan Pengadilan.
Pengkategorian Pembatalan sertipikat hak atas tanah yang dilaksanakan berdasarkan putusan peradilan umum baik perdata maupun pidana sebagai cacat admistrasi dalam Perkaban No. 3 Tahun 2011 menurut penulis merupakan pengkategorian yang tidak tepat karena Putusan Perdata ataupun pidana pada dasarnya tidak menyangkut administrasi dalam penerbitan hak tetapi menyangkut keabsahan pemilikan seseorang terhadap sebidang tanah yang dibuktikan dengan sertipikat. Sertipikat yang dibatalkan berdasarkan Putusan Perdata dilaksanakan bukan karena adanya kekeliruan dalam prosedur atau administrasi pada Kantor Pertanahan tetapi didasarkan pada Putusan yang menyatakan berhak atau tidaknya seseorang atas sebidang tanah di mana ketika proses penerbitan hak dilaksanakan, berhak tidaknya orang tersebut belum diketahui dan hal ini berarti Kantor Pertanahan tidak melakukan tindakan penerbitan yang mengandung cacat admnistrasi sehingga pembatalan sertipikat yang dilaksanakan jelas bukan karena cacat admnistrasi tetapi karena cacat hukum. Cacat hukumnya sertipikat tersebut didasarkan pada suatu Putusan Pengadilan yang in kracht. Kesimpulan penulis dalam hal ini adalah seluruh pembatalan sertipikat hak atas tanah yang dilaksanakan berdasarkan putusan pengadilan baik Tata Usaha Negara, Perdata maupun Pidana adalah pembatalan sertipikat karena cacat hukum bukan karena cacat admnistrasi.
Pembatalan sertipikat hak atas tanah karena cacat admnistrasi hanya dilaksanakan terhadap sertipikat yang diketahui secara di kemudian hari mengandung cacat dalam penerbitannya dan pembatalannya tidak membutuhkan putusan pengadilan tetapi dapat dilaksanakan oleh Badan Pertanahan Nasional setelah melalui mekanisme-mekanisme tertentu sehingga dapat diyakini bahwa secara nyata terdapat kekeliruan dalam admnistrasi ataupun prosedur penerbitan sertipikat hak tersebut. Penulis dalam hal ini lebih menyetujui pembagian pembatalan hak dalam KBPN No. 9 tahun 1999 yakni karena cacat hukum dan karena cacat admnistrasi. Pembatalan hak karena cacat admnistrasi dalam KBPN No. 9 Tahun 1999 merupakan pembatalan hak tanpa melalui proses peradilan tetapi karena ditemukan kekeliruan dalam penerbitan.
Berkaitan dengan pembatalan sertipikat hak atas tanah karena cacat administrasi dan pembatalannya dilaksanakan tidak melalui putusan pengadilan, realitas saat ini menunjukkan bahwa jenis pembatalan seperti ini sangat jarang dilaksanakan oleh Badan Pertanahan Nasional meskipun telah sekian banyak masyarakat meminta hal tersebut melalui surat-surat pengaduan yang diajukan ke Kantor-kantor pertanahan, Kanwil BPN ataupun BPN RI. Banyak yang kemudian memberikan pandangan bahwa BPN tidak memiliki keberanian membatalkan sertipikat hak atas tanah meskipun mengetahui bahwa telah ada kekeliruan dalam penerbitannya. Pertanyaan yang kemudian menarik untuk dicermati adalah hal-hal apa saja yang dapat dikategorikan sebagai cacat admnistrasi yang dapat dibatalkan tanpa melalui putusan pengadilan. Pertanyaan ini menjadi urgen untuk dijawab karena ketidakjelasan kategori cacat admnistrasi yang dapat dibatalkan oleh BPN tanpa Putusan Pengadilan menimbulkan keraguan bagi pihak BPN untuk melaksanakan pembatalan tersebut padahal peraturan-peraturan dalam bidang pertanahan memberikan kewenangan tersebut kepada BPN. Pertanyaan ini kerap diitanyakan oleh masyarakat ketika sertipikat mereka tumpang tindih kemudian mereka meminta BPN untuk melakukan pembatalam tanpa putusan pengadilan tetapi BPN memilih untuk menyarankan mereka menempuh jalur hukum. Jika ditelaah, sertipikat kedua yang terbit dalam sertipkat ganda jelas terbit tidak sesuai dengan prosedur karena prosedur yang benar adalah tidak diperbolehkan sebuah sertipikat diterbitkan di atas tanah yang telah dilekati oleh hak. Tetapi mengapa BPN memilih untuk tidak melaksanakan pembatalan tanpa putusan pengadilan. Sertipikat ganda hanya merupakan salah satu contoh bentuk kesalahan admnistrasi/prosedur yang nyata dilakukan oleh BPN tapi kerap kali BPN tidak berani melakukan pembatalan dengan dasar cacat administrasi.
Pasal 6 ayat (2) Perkaban No. 3 Tahun 2011 menegaskan bahwa Cacat hukum administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain, kesalahan prosedur dalam proses penetapan dan/atau pendaftaran hak tanah, kesalahan prosedur dalam proses pendaftaran peralihan hak dan/atau sertipikat pengganti, kesalahan prosedur dalam proses pendaftaran penegasan dan/atau pengakuan hak atas tanah bekas milik adat, kesalahan prosedur dalam proses pengukuran, pemetaan dan/atau perhitungan luas, tumpang tindih hak atau sertipikat hak atas tanah, kesalahan subyek dan/atau obyek hak dan kesalahan lain dalam penerapan peraturan perundang-undangan. Pasal 64 Perkaban No. 3 Tahun 2011 mengatur pula bahwa permohonan/usulan perbuatan hukum administrasi pertanahan terhadap sertipikat hak atas tanah yang cacat hukum administrasi dapat diajukan oleh pihak yang berkepentingan/pemohon atau kuasanya. Pasal 65 mengatur bahwa pihak yang berkepentingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) aparatur BPN RI yang mengetahui data dan/atau warkah penerbitan hak atas tanah yang tidak sah mengenai substansi dan/atau proses penerbitannya, aparatur BPN RI mempunyai bukti adanya kesalahan prosedur administrasi penerbitan sertipikat hak atas tanah dan pihak yang dirugikan akibat terbitnya sertipikat hak atas tanah yang cacat. 7 (tujuh) jenis cacat admnistrasi yang disebutkan dalam Pasal 62 Perkaban No. 3 Tahun 2011 menurut penulis masih membuthkan pengkajian lebih jauh karena jenis-jenis cacat admnistrasi tersebut masih menimbulkan begitu banyak pertanyaan.
Sebagai contoh, jenis kesalahan prosedur dalam proses penetapan dan/atau pendaftaran hak tanah. Kesalahan prosedur seperti apa yang dikategorikan sebagai cacat yang dapat diajukan pembatalan hak tanpa melalui pengadilan? Ketika seseorang mengajukan permohonan pembatalan dengan dasar bahwa di atas tanah di kelurahan a telah diterbitkan sertipikat hak milik atas nama si B melalui proses pemberian hak padahal tanah tersebut merupakan tanah dengan status tanah bekas milik adat dapat disebut sebagai cacat admnistrasi dan dapat menjadi dasar pembatalan sertipikat tanpa putusan pengadilan?Poin yang harus digaris bawahi dalam contoh ini adalah siapa yang mengajukan permohonan pembatalan hak, dasar apa yang digunakan untuk mengajukan pembatalan hak dan bagaimana membuktikan kebenaran dasar dan dalil yang digunakan untuk mengajukan pembatalan hak.
Ketiga poin di atas perlu dikaji dalam kaitan dengan pembatalan sertipikat dengan dasar cacat admnistrasi sebagai berikut :
Kesalahan prosedur dalam proses pendaftaran peralihan hak dan/atau sertipikat pengganti membutuhkan pula kejelasan dalam pengaturannya. Kesalahan seperti apa yang dimaksud dalam hal ini. Ketika seseorang mengajukan permohonan pembatalan hak karena kesalahan dalam pendaftaran peralihan hak dan/atau sertipikat pengganti dan melibatkan sengketa antara dua pihak maka pembatalan hak membutuhkan adanya putusan pengadilan dan jika melibatkan satu pihak, maka pengulangan proses peralihannya atau penggantian sertipikatnya membutuhkan pengaturan terkait dengan konsekuensi-konsekuensi yang akan timbul akibat pembatalan tersebut. Demikian pula dengan jenis cacat yang lain yaitu kesalahan prosedur dalam proses pendaftaran penegasan dan/atau pengakuan hak atas tanah bekas milik adat, tumpang tindih hak atau sertipikat hak atas tanah serta kesalahan subyek dan/atau obyek hak. Untuk cacat admnistrasi karena kesalahan hasil pengukuran penulis berpandangan bahwa kesalahan hasil pengukuran tidak perlu ditindaklanjuti dengan pembatalan sertipikat tetapi cukup dengan perbaikan data tanpa adanya pembatalan hak.
Uraian di atas menurut penulis menunjukkan bahwa :
Tujuan pengaturan pertanahan dalam UUPA adalah dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum bagi pemilik tanah dan untuk memberikan jaminan kepastian hukum maka dilaksanakan suatu mekanisme pendaftaran tanah di seluruh Indonesia. Pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, memberikan rumusan mengenai pengertian pendaftaran tanah. Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian sertipikat sebagai surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah.
Tujuan pendaftaran tanah dalam PP No. 24 Tahun 1997 adalah memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum, menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan terselenggaranya tertib administrasi pertanahan. Pasal 4 PP No. 24 Tahun 1997 selanjutnya menegaskan bahwa “untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a kepada pemegang hak yang bersangkutan diberikan sertipikat hak atas tanah”. Jadi dapat dikatakan bahwa upaya untuk mewujudkan kepastian terhadap hak-hak atas tanah dilaksanakan antara lain dengan penerbitan suatu dokumen yang mempunyai kekuatan hukum yang sempurna yakni sertipikat hak atas tanah.
Definisi formal sertipikat dapat dilihat dari Pasal 19 ayat (2) UUPA menegaskan bahwa sertipikat adalah surat tanda bukti hak atas tanah yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Sertipikat sebagai surat bukti tanda hak, diterbitkan untuk kepentingan pemegang hak yang bersangkutan, sesuai dengan data fisik yang ada dalam surat ukur dan data yuridis yang telah di daftar dalam buku tanah.
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 merumuskan bahwa sertipikat adalah satu lembar dokumen sebagai surat tanda bukti hak yang memuat data fisik dan data yuridis objek yang di daftar untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing di bukukan dalam buku tanah.
Keberadaan sertipikat hak atas tanah sebagai surat tanda bukti hak memiliki kekuatan sempurna. Hal ini berarti bahwa selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya data fisik dan data yuridis yang tercantum di dalamnya harus diterima sebagai data yang benar. Parlindungan mengemukakan bahwa pasal 19 UUPA menyatakan bahwa sertifikat adalah sebagai alat pembuktian yang kuat, sehingga setiap orang dapat mempermasalahkan tentang kebenaran sertifikat tanahnya, dan jika dapat dibuktikan ketidakbenaran dari hak atas tanah tersebut, maka sertifikat dapat dibatalkan oleh Pengadilan dan Kepala BPN dapat memerintahkan hal tersebut. (Parlindungan, 1999).
Defenisi pembatalan hak atas tanah yang diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 9 Tahun 1999 tentang Pemberian dan Pembatalan Hak Milik atas Tanah Negara masih dapat digunakan mengingat aturan peralihan dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional (Perkaban) No. 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan yakni dalam Pasal 84 menegaskan bahwa Ketentuan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan, sepanjang mengatur tata cara pembatalan Hak Atas Tanah Negara yang bertentangan dengan Peraturan ini dan defenisi pembatalan hak yang terdapat dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999; tidak bertentangan dengan substansi hukum yang ada dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional (Perkaban) No. 3 Tahun 2011.
Ketentuan dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional (Perkaban) No. 3 Tahun 2011 tidak secara khusus mengatur mengenai pembatalan hak atas tanah namun diatur dalam ketentuan mengenai penyelesaian kasus pertanahan pada Bab VII dengan memberikan pengaturan bahwa penyelesaian kasus pertanahan pada dasarnya ada 2 (dua) yaitu 1) pelaksanaan putusan pengadilan dan 2) penyelesaian kasus pertanahan di luar pengadilan. Pelaksanaan putusan pengadilan serta penyelesaian kasus pertanahan di luar pengadilan dapat melahirkan perbuatan hukum berupa pembatalan sertipikat hak atas tanah sehingga dapat dikatakan bahwa jika didasarkan pada Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional (Perkaban) No. 3 Tahun 2011 maka pembatalan hak atas tanah dapat dilakukan dengan 2 (cara) yakni 1) berdasarkan putusan pengadilan dan 2) tidak berdasarkan putusan pengadilan. Pasal 55 Perkaban No. 3 Tahun 2011 menegaskan bahwa Tindakan untuk melaksanakan putusan pengadilan yang tela memperoleh kekuatan hukum tetap, dapat berupa pelaksanaan dari seluruh amar putusan, pelaksanaan sebagian amar putusan dan/atauhanya melaksanakan perintah yang secara tegas tertulis pada amar putusan. Selanjutnya dalam ayat (2) ditegaskan bahwa amar putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, yang berkaitan dengan penerbitan, peralihan dan/atau pembatalan hak atas tanah, antara lain perintah untuk membatalkan hak atas tanah, menyatakan batal/tidak sah/tidak mempunyai kekuatan hukum hak atas tanah, menyatakan tanda bukti hak tidak sah/tidak berkekuatan hukum, perintah dilakukannya pencatatan atau pencoretan dalam buku tanah, perintah penerbitan hak atas tanah dan amar yang bermakna menimbulkan akibat hukum terbitnya, beralihnya atau batalnya hak.
Selanjutnya, Paragraf 2 tentang Proses Perbuatan Hukum Administrasi Pertanahan Terhadap Keputusan/Surat Cacat Hukum Administrasi dalam Pasal 64 ayat (3) menyebutkan bahwa Surat permohonan/usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri data pendukung antara lain, sertipikat hak atas tanah yang kedapatan cacat hukum administrasi, hasil pengolahan data yang membuktikan adanya cacat hukum administrasi, salinan amar putusan pengadilan atau pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan yang substansinya menyatakan tidak sah dan/ atau palsu dokumen yang digunakan dalam proses penerbitan sertipikat hak atas tanah, surat-surat lain yang mendukung alasan permohonan pembatalan.
Menghubungkan antara kedua pasal di atas penulis menyimpulkan bahwa Perkaban No. 3 Tahun 2011 pada dasarnya memberikan pengaturan bahwa Pembatalan Sertipikat Hak atas Tanah yang didasarkan pada Putusan Pengadilan yang tidak secara tegas menyatakan batal sertipikat tetapi memiliki amar yang bermakna menimbulkan akibat hukum terbitnya, beralihnya atau batalnya hak dikategorikan sebagai pembatalan sertipikat hak atas tanah karena cacat admnistrasi sebagaiman dapat dilihat pada Pasal 6 ayat (3) huruf c yang memberikan pengaturan bahwa salah satu syarat dalam pengajuan pembatalan sertipikat karena cacat admnistrasi adalah salinan amar putusan pengadilan atau pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan yang substansinya menyatakan tidak sah dan/ atau palsu dokumen yang digunakan dalam proses penerbitan sertipikat hak atas tanah;
Ketentuan dalam Pasal 64 ayat (3) Perkaban No. 3 Tahun 2011 berarti pula bahwa pembatalan hak berdasarkan putusan pengadilan umum baik perdata maupun pidana dikategorikan sebagai pembatalan hak karena cacat admnistrasi dan hanya Putuan Peradilan Tata Usaha Negara yang dikategorikan sebagai cacat hukum karena hanya Putusan PTUN yang secara tegas memerintahkan pembatalan sertipikat hak atas sehingga pengkategorian lain mengenai pembatalan hak dalam perkaban No. 3 tahun 2011 menurut penulis dalah 1) pelaksanaan putusan pengadilan yang menyatakan batal sertipikat dan 2) pembatalan karena cacat admnistrasi yang terbagi menjadi 2 (dua) jenis yakni berdasarkan putusan pengadilan dan berdasarkan penelitian oleh Badan Pertanahan Nasional dan pembatalan hak tanpa melalui Putusan Pengadilan.
Pengkategorian Pembatalan sertipikat hak atas tanah yang dilaksanakan berdasarkan putusan peradilan umum baik perdata maupun pidana sebagai cacat admistrasi dalam Perkaban No. 3 Tahun 2011 menurut penulis merupakan pengkategorian yang tidak tepat karena Putusan Perdata ataupun pidana pada dasarnya tidak menyangkut administrasi dalam penerbitan hak tetapi menyangkut keabsahan pemilikan seseorang terhadap sebidang tanah yang dibuktikan dengan sertipikat. Sertipikat yang dibatalkan berdasarkan Putusan Perdata dilaksanakan bukan karena adanya kekeliruan dalam prosedur atau administrasi pada Kantor Pertanahan tetapi didasarkan pada Putusan yang menyatakan berhak atau tidaknya seseorang atas sebidang tanah di mana ketika proses penerbitan hak dilaksanakan, berhak tidaknya orang tersebut belum diketahui dan hal ini berarti Kantor Pertanahan tidak melakukan tindakan penerbitan yang mengandung cacat admnistrasi sehingga pembatalan sertipikat yang dilaksanakan jelas bukan karena cacat admnistrasi tetapi karena cacat hukum. Cacat hukumnya sertipikat tersebut didasarkan pada suatu Putusan Pengadilan yang in kracht. Kesimpulan penulis dalam hal ini adalah seluruh pembatalan sertipikat hak atas tanah yang dilaksanakan berdasarkan putusan pengadilan baik Tata Usaha Negara, Perdata maupun Pidana adalah pembatalan sertipikat karena cacat hukum bukan karena cacat admnistrasi.
Pembatalan sertipikat hak atas tanah karena cacat admnistrasi hanya dilaksanakan terhadap sertipikat yang diketahui secara di kemudian hari mengandung cacat dalam penerbitannya dan pembatalannya tidak membutuhkan putusan pengadilan tetapi dapat dilaksanakan oleh Badan Pertanahan Nasional setelah melalui mekanisme-mekanisme tertentu sehingga dapat diyakini bahwa secara nyata terdapat kekeliruan dalam admnistrasi ataupun prosedur penerbitan sertipikat hak tersebut. Penulis dalam hal ini lebih menyetujui pembagian pembatalan hak dalam KBPN No. 9 tahun 1999 yakni karena cacat hukum dan karena cacat admnistrasi. Pembatalan hak karena cacat admnistrasi dalam KBPN No. 9 Tahun 1999 merupakan pembatalan hak tanpa melalui proses peradilan tetapi karena ditemukan kekeliruan dalam penerbitan.
Berkaitan dengan pembatalan sertipikat hak atas tanah karena cacat administrasi dan pembatalannya dilaksanakan tidak melalui putusan pengadilan, realitas saat ini menunjukkan bahwa jenis pembatalan seperti ini sangat jarang dilaksanakan oleh Badan Pertanahan Nasional meskipun telah sekian banyak masyarakat meminta hal tersebut melalui surat-surat pengaduan yang diajukan ke Kantor-kantor pertanahan, Kanwil BPN ataupun BPN RI. Banyak yang kemudian memberikan pandangan bahwa BPN tidak memiliki keberanian membatalkan sertipikat hak atas tanah meskipun mengetahui bahwa telah ada kekeliruan dalam penerbitannya. Pertanyaan yang kemudian menarik untuk dicermati adalah hal-hal apa saja yang dapat dikategorikan sebagai cacat admnistrasi yang dapat dibatalkan tanpa melalui putusan pengadilan. Pertanyaan ini menjadi urgen untuk dijawab karena ketidakjelasan kategori cacat admnistrasi yang dapat dibatalkan oleh BPN tanpa Putusan Pengadilan menimbulkan keraguan bagi pihak BPN untuk melaksanakan pembatalan tersebut padahal peraturan-peraturan dalam bidang pertanahan memberikan kewenangan tersebut kepada BPN. Pertanyaan ini kerap diitanyakan oleh masyarakat ketika sertipikat mereka tumpang tindih kemudian mereka meminta BPN untuk melakukan pembatalam tanpa putusan pengadilan tetapi BPN memilih untuk menyarankan mereka menempuh jalur hukum. Jika ditelaah, sertipikat kedua yang terbit dalam sertipkat ganda jelas terbit tidak sesuai dengan prosedur karena prosedur yang benar adalah tidak diperbolehkan sebuah sertipikat diterbitkan di atas tanah yang telah dilekati oleh hak. Tetapi mengapa BPN memilih untuk tidak melaksanakan pembatalan tanpa putusan pengadilan. Sertipikat ganda hanya merupakan salah satu contoh bentuk kesalahan admnistrasi/prosedur yang nyata dilakukan oleh BPN tapi kerap kali BPN tidak berani melakukan pembatalan dengan dasar cacat administrasi.
Pasal 6 ayat (2) Perkaban No. 3 Tahun 2011 menegaskan bahwa Cacat hukum administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain, kesalahan prosedur dalam proses penetapan dan/atau pendaftaran hak tanah, kesalahan prosedur dalam proses pendaftaran peralihan hak dan/atau sertipikat pengganti, kesalahan prosedur dalam proses pendaftaran penegasan dan/atau pengakuan hak atas tanah bekas milik adat, kesalahan prosedur dalam proses pengukuran, pemetaan dan/atau perhitungan luas, tumpang tindih hak atau sertipikat hak atas tanah, kesalahan subyek dan/atau obyek hak dan kesalahan lain dalam penerapan peraturan perundang-undangan. Pasal 64 Perkaban No. 3 Tahun 2011 mengatur pula bahwa permohonan/usulan perbuatan hukum administrasi pertanahan terhadap sertipikat hak atas tanah yang cacat hukum administrasi dapat diajukan oleh pihak yang berkepentingan/pemohon atau kuasanya. Pasal 65 mengatur bahwa pihak yang berkepentingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) aparatur BPN RI yang mengetahui data dan/atau warkah penerbitan hak atas tanah yang tidak sah mengenai substansi dan/atau proses penerbitannya, aparatur BPN RI mempunyai bukti adanya kesalahan prosedur administrasi penerbitan sertipikat hak atas tanah dan pihak yang dirugikan akibat terbitnya sertipikat hak atas tanah yang cacat. 7 (tujuh) jenis cacat admnistrasi yang disebutkan dalam Pasal 62 Perkaban No. 3 Tahun 2011 menurut penulis masih membuthkan pengkajian lebih jauh karena jenis-jenis cacat admnistrasi tersebut masih menimbulkan begitu banyak pertanyaan.
Sebagai contoh, jenis kesalahan prosedur dalam proses penetapan dan/atau pendaftaran hak tanah. Kesalahan prosedur seperti apa yang dikategorikan sebagai cacat yang dapat diajukan pembatalan hak tanpa melalui pengadilan? Ketika seseorang mengajukan permohonan pembatalan dengan dasar bahwa di atas tanah di kelurahan a telah diterbitkan sertipikat hak milik atas nama si B melalui proses pemberian hak padahal tanah tersebut merupakan tanah dengan status tanah bekas milik adat dapat disebut sebagai cacat admnistrasi dan dapat menjadi dasar pembatalan sertipikat tanpa putusan pengadilan?Poin yang harus digaris bawahi dalam contoh ini adalah siapa yang mengajukan permohonan pembatalan hak, dasar apa yang digunakan untuk mengajukan pembatalan hak dan bagaimana membuktikan kebenaran dasar dan dalil yang digunakan untuk mengajukan pembatalan hak.
Ketiga poin di atas perlu dikaji dalam kaitan dengan pembatalan sertipikat dengan dasar cacat admnistrasi sebagai berikut :
- Jika pihak yang mengajukan adalah pihak lain yang merasa dirugikan maka dalam masalah ini terdapat sengketa antara pemegang hak dengan pihak yang mengajukan.
- Jika dasar yang digunakan untuk mengajukan hak adalah tanda bukti kepemilikan tanah dengan status tanah bekas milik adat berarti diperlukan adanya pembuktian kebenaran tanda bukti kepemilikan tersebut misalnya kebenaran letak tanah yang dimaksud dalam tanda bukti yang diajukan.
- pembuktian kebenaran dasar dan dalil yang diajukan oleh pemohon pembatalan tentu saja berhadapan dengan pembuktian kebenaran dasar dan dalil yang diajukan oleh pemegang hak dalam pendaftaran haknya.
Kesalahan prosedur dalam proses pendaftaran peralihan hak dan/atau sertipikat pengganti membutuhkan pula kejelasan dalam pengaturannya. Kesalahan seperti apa yang dimaksud dalam hal ini. Ketika seseorang mengajukan permohonan pembatalan hak karena kesalahan dalam pendaftaran peralihan hak dan/atau sertipikat pengganti dan melibatkan sengketa antara dua pihak maka pembatalan hak membutuhkan adanya putusan pengadilan dan jika melibatkan satu pihak, maka pengulangan proses peralihannya atau penggantian sertipikatnya membutuhkan pengaturan terkait dengan konsekuensi-konsekuensi yang akan timbul akibat pembatalan tersebut. Demikian pula dengan jenis cacat yang lain yaitu kesalahan prosedur dalam proses pendaftaran penegasan dan/atau pengakuan hak atas tanah bekas milik adat, tumpang tindih hak atau sertipikat hak atas tanah serta kesalahan subyek dan/atau obyek hak. Untuk cacat admnistrasi karena kesalahan hasil pengukuran penulis berpandangan bahwa kesalahan hasil pengukuran tidak perlu ditindaklanjuti dengan pembatalan sertipikat tetapi cukup dengan perbaikan data tanpa adanya pembatalan hak.
Uraian di atas menurut penulis menunjukkan bahwa :
- Pembatalan sertipikat karena cacat admnistrasi dan dilaksanakan apabila secara nyata ditemukan adanya kekeliruan dalam penerbitan hak atas tanah misalnya sertipikat ditandatangani bukan oleh Kepala Kantor yang menjabat pada saat penandatanganan, sertipikat ditandatangani oleh pejabat selain Kepala Kantor namun tidak sesuai dengan kewenangan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan, misalnya Kepala Seksi Pendaftaran Tanah dan Hak Tanah diberikan kewenangan untuk menandatangani Sertipikat dengan luas objek sampai 500 meter persegi namun ia menandatangani sertipikat seluas 1000 meter persegi.
- Pembatalan sertipikat karena cacat admnistrasi dan dilaksanakan tanpa melalui putusan pengadilan hanya dapat dilaksanakan jika tidak mengandung sengketa hak antara dua belah pihak dan apabila terdapat sengketa dalam suatu permohonan pembatalan sertipikat baik sengketa admnistrasi, sengketa hak ataupun indikasi tindak pidana maka BPN tidak dapat melakukan pembatalan sertipikat karena dibutuhkan suatu Putusan Pengadilan yang In kracht.
- Pembatalan sertipikat karena cacat admnistrasi dilaksanakan apabila perubahan data pendaftaran tanah sudah tidak memungkinkan untuk dilakukan. Sepanjang masih memungkinkan adanya perbaikan data pendaftaran tanah maka sebaiknya tindakan yang dilakukan hanya sebatas perbaikan data pendaftaran tanah bukan pembatalan sertipikat.
- Proses pembatalan sertipikat karena cacat admnistrasi membutuhkan pengaturan yang lebih jelas misalnya mengenai kategori cacat admnistrasi yang dapat dibatalkan tanpa melalui putusan pengadilan, mekanisme pembatalan sertipikat hak atas sertipikat yang mengandung cacat admnistrasi, konsekuensi-konsekuensi yang akan timbul akibat pembatalan tersebut dan cacat admnistrasi.
- setiap permohonan pembatalan hak atas tanah yang mengandung sengketa baik sengketa admnistrasi maupun sengketa hak dan indikasi tindak pidana hanya bisa dibatalkan melalui pembatalan sertipikat berdasarkan Putusan Pengadilan.
- Pembatalan sertipikat hak atas tanah karena cacat administrasi hanya dapat dilaksanakan jika a) secara nyata telah ditemukan adanya kekeliruan, b) upaya perbaikan data administrasi tidak memungkinkan dilaksanakan dan c) tidak ada sengketa antara dua pihak atau lebih baik terhadap sertipikat maupun terhadap tanah.
Saturday, June 21, 2014
Share: