Oleh : Fia S. Aji
Seorang juris selama bertahun-tahun dalam pendidikannya di Fakultas hukum, dibentuk intelektualitasnya yang cenderung memandang segala sesuatu dari sudut stereotip tertentu, yaitu stereotip normatip. Pemikiran juris itu senantiasa melihat dunia ini dengan konstruksi konstruksi hukum, tentang nama tindakan yang benar dan mana tindakan yang salah. Dengan lain perkataan, mereka dilatih untuk penguasaan bahan hukum positip, dan mengunakannnya pada kasus-kasus. Mereka mengunakan metoda preskriptif, menerima hukum positip dan bagaimana menerapkannya.
Karena itu di dalam pola pendidikan tradisional, hukum positif tidak lagi dipersoalkan lebih lanjut. Hukum positip diterima sebagai sesuatu yang tidak perlu dipersoalkan lagi.
Mempelajari hukum dalam metoda itu memahami hukum sebagai suatu “sollen”. Karena itu pemahaman ilmu hukum secara demikian merupakan penerapan ilmu hukum sebagai "ilmu terapan". Di sini juris bertindak sebagai dokter, bertindak sebagai tukang. Dan jelas kita menginginkan mencetak sarjana hukum yang mampu terpakai dalam pembangunan. Untuk menyempurnakan pemikiran seorang juris, disamping penguasaan terhadap hukum positip, seyogianya para juris juga dibekali dengan penguasaan untuk melakukan sorotan terhadap aspek perilaku dari kenyataan, yang mencakupi pendekatan-pendekatan sosiologis, antropologis, historis, psikologis, maupun komparatif.
Menurut Prof. Dr. Soerjono Soekanto, S.H M.A (1984:231):
“Pendekatan-pendekatan tersebut diperlukan agar supaya mereka yang berkecimpung di bidang hukum tidak kaku, tidak picik, tidak kosong, dan tidak ceroboh. Kalau dokmatik hukum mempergunakan cara berpikir yang logis-deduktif (bersifat teoritis-rasional), maka ilmu tentang kenyataan hukum mempergunakan cara berpikir logis-induktif (dan bersifat teoritis-empiris)".
Menurut penulis, pola pendekatan hukum secara sosiologis sudah harus dimulai sejak mahasiswa hukum berada pada taraf pemula, yaitu pada saat mempelajari Pengantar Ilmu Hukum, dengan demikian tidak akan terlalu asing jika telah memulai mendalami Sosiologi Hukum misalnya. Demikian pula pada taraf permulaan sudah harus diperkenalkan pendekatan antropologis, pendekatan historis, pendekatan psikologis, dan sebagainya.
Perbedaan antara Ilmu Hukum Normatif dan Sosiologi Hukum
Meskipun di atas secara sekilas telah disinggung tentang perbedaan antara pendekatan atau optik normatip dengan optik sosiologis, penulis menganggap masih perlu kita membahas sedikit lebih detail lagi.
Pendekatan sosiologis terhadap hukum ini merupakan usaha untuk memahami hukum dari segi tingkah laku sosial. Pemahaman secara sosiologis terhadap fenomena hukum. Hal ini sesuai dengan "tugas sosiologi" yang "interpretative understanding of social conduct". Social-conduct dari hukum, misalnya : Hukum acara mengenai putusan hakim, yang dipersoalkan oleh pendekatan sosiologis adalah antara lain, mengapa hakim X mengabulkan suatu gugatan tertentu. Faktor-faktor sosiologis apakah yang menyebabkan hakim ini menjatuhkan putusannya.
Jika kalau dari pendekatan normatif diatur bahwa mengambil barang orang lain dengan maksud memiliki dengan cara melawan hukum, termasuk kualifikasi pencurian yang dapat dipidana, maka dari pendekatan sosiologis bukan itu persoalannya. Yang menjadi persoalan dari pendekatan sosioiogis, adalah : Benarkah semua pencuri dihukum? Kalau tidak, faktor-faktor sosioiogis apakah yang merintangi pencuri tertentu dihukum?
Pendekatan sosiologis terhadap hukum adalah mempelajari : bagaimana dan mengapa, tingkah laku sosial yang berhubungan dengan hukum sebagaimana kita lihat. Sikap dasar sosiologis adalah kecurigaan. Apakah hukum itu seperti yang tertulis ? Seperti yang dikatakan ? Dengan demikian pendekatan sosiologis sejalan ungkapan Eugen Ehrlich yang mengatakan: The centre of gravity of legas development lies not in legislation, nor in juristic-science, nor in judical decision, but in socienty itself.
Dari hubungan dengan tugas atau ciri khas dari pendekatan sosiologis terdapap hukum, perlu diketahui bahwa yang dimaksud dengan fenomena hukum, tidak lain adalah gejala-gejala yang mengandung konsepsi stereotip, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis.
Sociology of Law dan Sosiological Jurisprudence
Pengembangan ilmu pendekatan sosiologis tentang hukum itu diajarkan melalui dua ilmu yang berbeda pijakan ilmunya. Di Negara-negara Eropa Kontinental pendekatan sosiologis tentang hukum merupakan tugas dari sociology of Law, yang dirintis oleh seorang Italia bemama Anzilotti. Sedang di Negara-negara Anglo Saks pendekatan sosiologis tentang hukum dibahas oleh Sociological Jurisprudence. Sekalipun topik pembahasan mereka identik, tetapi tetap ada perbedaan antara keduanya.
Menurut L.B. Curzon (1979:137) perbedaannya adalah :
Mahasiswa di fakultas-fakultas hukum yang penulis kuliahi mata kuliah Sosiologi Hukum,akibat stereotip normatip yang sudah terlalu melekat dalam pemikiran mereka, sering bertanya, apakah dasar hukum sehingga seorang praktisi hukum di Indonesia dapat menerapkan pendekatan sosiologis di dalam kenyataannya?
Meskipun persoalan tersebut sebenarnya telah memasuki persoalan normatip hukum, yaitu persoalan hukum positipnya, namun penulis menganggap tidak ada salahnya untuk menjawab pertanyaan itu agar dapat memberikan kepuasan terhadap penanyanya.
Penggunaan pendekatan sosiologis di pengadilan mempunyai dasar hukum yang kuat, yaitu Undang-undang Kekuasaan Kehakiman di mana Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib mengadili, mengikuti dam memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat”. Hakim merupakan perumus dan penggali dari nilai-nilai hukum yang hidup dikalangan rakyat. Untuk itu ia harus terjun ke tengah-tengah masyarakat untu mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian hakim dapat memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Keadaan seperti yang diharapkan Undang-undang kekuasaan kehakiman, membuka peluang bagi hakim-hakim kita untuk menggunakan interpretasi sosiologis di dalam mempersiapkan putusannya, agar putusannya dapat memberi manfaat yang sebesar-besamya terhadap warga masyarakat dan memuaskan rasa keadilan warga masyarakat.
Terlihat di sini betapa erat persoalan pendekatan sosiologi dengan persoalan penemuan hukum oleh hakim. Keduanya merupakan persoalan yang menentukan apakah suatu putusan relevan atau tidak dengan kebutuhan warga masyarakatnya.
Seorang juris selama bertahun-tahun dalam pendidikannya di Fakultas hukum, dibentuk intelektualitasnya yang cenderung memandang segala sesuatu dari sudut stereotip tertentu, yaitu stereotip normatip. Pemikiran juris itu senantiasa melihat dunia ini dengan konstruksi konstruksi hukum, tentang nama tindakan yang benar dan mana tindakan yang salah. Dengan lain perkataan, mereka dilatih untuk penguasaan bahan hukum positip, dan mengunakannnya pada kasus-kasus. Mereka mengunakan metoda preskriptif, menerima hukum positip dan bagaimana menerapkannya.
Karena itu di dalam pola pendidikan tradisional, hukum positif tidak lagi dipersoalkan lebih lanjut. Hukum positip diterima sebagai sesuatu yang tidak perlu dipersoalkan lagi.
Mempelajari hukum dalam metoda itu memahami hukum sebagai suatu “sollen”. Karena itu pemahaman ilmu hukum secara demikian merupakan penerapan ilmu hukum sebagai "ilmu terapan". Di sini juris bertindak sebagai dokter, bertindak sebagai tukang. Dan jelas kita menginginkan mencetak sarjana hukum yang mampu terpakai dalam pembangunan. Untuk menyempurnakan pemikiran seorang juris, disamping penguasaan terhadap hukum positip, seyogianya para juris juga dibekali dengan penguasaan untuk melakukan sorotan terhadap aspek perilaku dari kenyataan, yang mencakupi pendekatan-pendekatan sosiologis, antropologis, historis, psikologis, maupun komparatif.
Menurut Prof. Dr. Soerjono Soekanto, S.H M.A (1984:231):
“Pendekatan-pendekatan tersebut diperlukan agar supaya mereka yang berkecimpung di bidang hukum tidak kaku, tidak picik, tidak kosong, dan tidak ceroboh. Kalau dokmatik hukum mempergunakan cara berpikir yang logis-deduktif (bersifat teoritis-rasional), maka ilmu tentang kenyataan hukum mempergunakan cara berpikir logis-induktif (dan bersifat teoritis-empiris)".
Menurut penulis, pola pendekatan hukum secara sosiologis sudah harus dimulai sejak mahasiswa hukum berada pada taraf pemula, yaitu pada saat mempelajari Pengantar Ilmu Hukum, dengan demikian tidak akan terlalu asing jika telah memulai mendalami Sosiologi Hukum misalnya. Demikian pula pada taraf permulaan sudah harus diperkenalkan pendekatan antropologis, pendekatan historis, pendekatan psikologis, dan sebagainya.
Perbedaan antara Ilmu Hukum Normatif dan Sosiologi Hukum
Meskipun di atas secara sekilas telah disinggung tentang perbedaan antara pendekatan atau optik normatip dengan optik sosiologis, penulis menganggap masih perlu kita membahas sedikit lebih detail lagi.
Pendekatan sosiologis terhadap hukum ini merupakan usaha untuk memahami hukum dari segi tingkah laku sosial. Pemahaman secara sosiologis terhadap fenomena hukum. Hal ini sesuai dengan "tugas sosiologi" yang "interpretative understanding of social conduct". Social-conduct dari hukum, misalnya : Hukum acara mengenai putusan hakim, yang dipersoalkan oleh pendekatan sosiologis adalah antara lain, mengapa hakim X mengabulkan suatu gugatan tertentu. Faktor-faktor sosiologis apakah yang menyebabkan hakim ini menjatuhkan putusannya.
Jika kalau dari pendekatan normatif diatur bahwa mengambil barang orang lain dengan maksud memiliki dengan cara melawan hukum, termasuk kualifikasi pencurian yang dapat dipidana, maka dari pendekatan sosiologis bukan itu persoalannya. Yang menjadi persoalan dari pendekatan sosioiogis, adalah : Benarkah semua pencuri dihukum? Kalau tidak, faktor-faktor sosioiogis apakah yang merintangi pencuri tertentu dihukum?
Pendekatan sosiologis terhadap hukum adalah mempelajari : bagaimana dan mengapa, tingkah laku sosial yang berhubungan dengan hukum sebagaimana kita lihat. Sikap dasar sosiologis adalah kecurigaan. Apakah hukum itu seperti yang tertulis ? Seperti yang dikatakan ? Dengan demikian pendekatan sosiologis sejalan ungkapan Eugen Ehrlich yang mengatakan: The centre of gravity of legas development lies not in legislation, nor in juristic-science, nor in judical decision, but in socienty itself.
Dari hubungan dengan tugas atau ciri khas dari pendekatan sosiologis terdapap hukum, perlu diketahui bahwa yang dimaksud dengan fenomena hukum, tidak lain adalah gejala-gejala yang mengandung konsepsi stereotip, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis.
Sociology of Law dan Sosiological Jurisprudence
Pengembangan ilmu pendekatan sosiologis tentang hukum itu diajarkan melalui dua ilmu yang berbeda pijakan ilmunya. Di Negara-negara Eropa Kontinental pendekatan sosiologis tentang hukum merupakan tugas dari sociology of Law, yang dirintis oleh seorang Italia bemama Anzilotti. Sedang di Negara-negara Anglo Saks pendekatan sosiologis tentang hukum dibahas oleh Sociological Jurisprudence. Sekalipun topik pembahasan mereka identik, tetapi tetap ada perbedaan antara keduanya.
Menurut L.B. Curzon (1979:137) perbedaannya adalah :
Sociological jurisprudence. Pound refers to this as a study of the perculiar characteristics of the legal order, i.e. an aspect of jurisprudence proper. Lloyid writes of it as a branch of thenormative science, having the objektive of making the law more effektive in action, and based on subjektive values. Some other writers use the term to refer to the sociological School of Jurisprudence, that is those jurist who see in a study of socienty a means where by the science of law might be made more precise.
Sociology of law Pound refers to this study as "sociology proper”, based on a concept of law as one of the means of social control. Lloyd writes of it as essentially a descriptive science employing empirical techniques. It is concerned with an examination of why the law sets about its task in the way it does. It views law as the product of a social system and as a means of controlling and changing that system.Jadi perbedaan pokok dari keduanya adalah dari segi cabang keilmuan. Sociology of law dianggap sebagai cabang sosiologi sedangkan Sociology jurisprudence merupakan cabang dari Ilmu Hukum Normatip yang khusus membahas pendekatan sosiologis tentang fenomena hukum dalam masyarakat. Buat kita di Indonesia hampir tidak ada persoalan pembidangan. Menurut penulis, perbedaan itu tidak perlu kita perbesar lagi, yang penting bagaimana kita mengambil manfaat sebagai seorang juris untuk mendalami hukum dari aspek sosiologisnya. Sebagaimana dikatakan oleh Prof.Dr.SoerjonoSoekanto,S.H,M.a (1977 :28) bahwa kegunaan sosiologi hukum di dalam kenyataannya adalah sebagai berikut: Sosilogi hukum berguna untuk memberikan kemampuan-kemampuan bagi pemahaman terhadap hukum di dalam sosial. Penguasaan konsep-konsep sosiologi hukum dapat memberikan kemampuan-kemampuan untuk mengadakan analisis terhadap efektivitas hukum dalam masyarakat, baik sebagai sarana untuk merubah masyarakat agar mencapai keadaan-keadaan sosial tertentu. Sosiologi hukum memberikan kemungkinan-kemungkinan untuk mengadakan evaluasi terhadap efektivitas hukum di dalam masyarakat. Tugas sosiologi hukum juga dikemukakan oleh Gurvitch (1961:26) yaitu:
"Sosiologi hukum temyata betul-betul diperlukan, bukan saja untuk pekerjaansehari-hari dari ahli hukum yang hukum untuk peristiwa-peristiwa konkret, tetapijuga bagi ilmu hukum atau hal mengdogmakan secara sistematis atau sistem hukum yang khusus. Sesungguhnya. sosiologi hukum menyelidiki pola-pola dan lambang-lambang hukum, yakni makna-makna hukum yang berlaku bagi pengalaman suatu kelompok khusus dalam suatu masa yang tertentu, dan bekerja untuk membangun suatu sistem yang beraturan dari lambang-lambang demikian itu. Dengan demikian, adalah perlu untuk mengetahui apa-apa yang dilambangkan, yang berarti bahwa adalah perlu untuk menangkap kembali apa yang mereka nyatakan dan membuka kembali apa yang mereka sembunyikan. Tetapi justeru inilah tugas sosiologi hukum ".Pembidangan lebih khusus dari kajian sosiologi hukum, juga sering dilakukan oleh para sosiolog hukum. Gurvitch misalnya (1961: 82,83) memisahkan 3 masalah sosiologi hukum yaitu:
- Masalah-masalah sosiologi hukum differensial, yang merupakan telaah manifestasi hukum sebagai fungsi bentuk-bentuk kemasyarakatan dan taraf-taraf kenyataan sosial. Masalah-masalah ini dapat dipecahkan semata-mata dengan apa yang hendak kita sebut mikrososiologi hukum,
- Masalah-masalah sosiologi hukum differensial, menelaah manifestasi-manifestasi hukum sebagai suatu fungsi satuan-satuan kolektif yang nyata, yang pemecahannya terdapat dalam tipologi hukum dari kelompok-kelompok terientu serta masyarakat-masyarakat serba-meliputi (inclusive sicieties).
- Masalah-masalah sosiologi hukum genetis, yang dianalisis dengan mikrososiologi hukum yang dinamis, menelaah keteraturan-keteraturan sebagai tendensi-tendensi dan faktor-faktor dari perobatan, perkembangan dan keruntuhan hukum di dalam suatu tipe masyarakat tertentu.
- Sosiologi hukum yang makro, yang berusaha untuk melihat hubungan antara hukum sebagai sistem, dengan bidang-bidang di luar hukum.
- Sosiologi hukum yang mikro, yang berusaha membahas mengenai lingkungan pekerjaan terbatas di bidang hukum, seperti: Pengadilan, Kepolisian, Legislatif, dan Iain-lain.
Mahasiswa di fakultas-fakultas hukum yang penulis kuliahi mata kuliah Sosiologi Hukum,akibat stereotip normatip yang sudah terlalu melekat dalam pemikiran mereka, sering bertanya, apakah dasar hukum sehingga seorang praktisi hukum di Indonesia dapat menerapkan pendekatan sosiologis di dalam kenyataannya?
Meskipun persoalan tersebut sebenarnya telah memasuki persoalan normatip hukum, yaitu persoalan hukum positipnya, namun penulis menganggap tidak ada salahnya untuk menjawab pertanyaan itu agar dapat memberikan kepuasan terhadap penanyanya.
Penggunaan pendekatan sosiologis di pengadilan mempunyai dasar hukum yang kuat, yaitu Undang-undang Kekuasaan Kehakiman di mana Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib mengadili, mengikuti dam memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat”. Hakim merupakan perumus dan penggali dari nilai-nilai hukum yang hidup dikalangan rakyat. Untuk itu ia harus terjun ke tengah-tengah masyarakat untu mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian hakim dapat memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Keadaan seperti yang diharapkan Undang-undang kekuasaan kehakiman, membuka peluang bagi hakim-hakim kita untuk menggunakan interpretasi sosiologis di dalam mempersiapkan putusannya, agar putusannya dapat memberi manfaat yang sebesar-besamya terhadap warga masyarakat dan memuaskan rasa keadilan warga masyarakat.
Terlihat di sini betapa erat persoalan pendekatan sosiologi dengan persoalan penemuan hukum oleh hakim. Keduanya merupakan persoalan yang menentukan apakah suatu putusan relevan atau tidak dengan kebutuhan warga masyarakatnya.
Monday, October 01, 2007
Share: