Wednesday, May 05, 2010

Oleh  Andi Sufiarma, S.H.,M.H.
KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN MAROS
Meningkatnya pembangunan nasional yang bertitik berat pada bidang ekonomi, dibutuhkan penyediaan dana yang cukup besar, sehingga memerlukan lembaga hak jaminan yang kuat dan mampu memberi kepastian hukum bagi pihak-pihak yang berkepentingan, yang dapat mendorong peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
Sejak bertakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria sampai dengan saat ini, ketentuan-ketentuan yang lengkap mengenai Hak Tanggungan sebagai lembaga hak jaminan yang dapat dibebankan atas tanah berikut atau tidak berikut benda-benda yang berkaitan dengan tanah, belum terbentuk. Ketentuan mengenai Hypotheek sebagaimana diatur dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang mengenai tanah, dan ketentuan mengenai Credietverband dalam Staatsblad 1908-542 sebagaimana telah diubah dengan Staatsblad 1937-190, yang berdasarkan Pasal 57 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, masih diberlakukan sementara sampai dengan terbentuknya Undang-Undang tentang Hak Tanggungan, dipandang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan kegiatan perkreditan, sehubungan dengan perkembangan tata ekonomi Indonesia sedangkan perkembangan yang telah dan akan terjadi di bidang pengaturan dan administrasi hak-hak atas tanah serta untuk memenuhi kebutuhan masyarakat banyak, selain Hak Milik, Hak Guna Usaha, dan Hak Guna Bangunan yang telah ditunjuk sebagai obyek Hak Tanggungan oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Hak Pakai atas tanah tertentu yang wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan, perlu juga dimungkinkan untuk dibebani Hak Tanggungan.

Berhubung dengan hal-hal tersebut di atas, maka dibentuklah Undang-undang yang mengatur Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, sekaligus mewujudkan unifikasi Hukum Tanah Nasional.

Hak tanggungan lahir dengan sebuah perjanjian. Dalam kenyataan, banyak pihak pemberi hak tanggungan yang ternyata lalai atau sengaja melalaikan kewajiban dalam pelaksanaan perjanjian, misalnya melakukan penjualan terhadap barang jaminan. Sehingga perlu kiranya dikaji lebih jauh kedudukan kreditor penerima tanggungan dalam hal terjadinya wanprestasi dari pemberi tanggungan.

A. Pengertian Hak Tanggungan

Hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain. Adapun beberapa unsur pokok dari hak tanggungan adalah:
  1. hak yaitu hak jaminan yang dibebankan atas tanah sebagai yang dimaksud oleh UUPA;
  2. berikut atau tidak berikut dengan benda-benda yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu;
  3. untuk pelunasan utang tertentu
  4. memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur yang lain.
B. Ciri-Ciri dan Sifat Hak Tanggungan

Adapun ciri-ciri hak tanggungan adalah:
  1. droit de prefenrence (pasal 1 angka 1 dan pasal 20 ayat (1) UUHT).
  2. droit de suite (pasal 7 UUHT)
  3. memenuhi asas spesialitas dan asas publisitas.
  4. asas spesialitas yaitu asas yang mewajibkan dalam muatan akta pemberian hak tanggungan harus mencantumkan ketentuan-ketentuan seperti ditegaskan dalam pasal 11 UUHT. Sedangkan asas publisitas yaitu asas yang mewajibkan didaftarkannya hak tanggungan pada kantor pertanahan setempat (pasal 13 UUHT).
  5. mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya.
  6. objek hak tanggungan tidak masuk dalam boedel kepailitan pemberi hak tanggungan sebelum kreditor pemegang hak tanggungan mengambil pelunasan dari hasil penjualan obyek hak tanggungan (pasal 21 UUHT).
Sedang sifat-sifat hak tanggungan antara lain:
  1. tidak dapat dibagi-bagi (pasal 2 UUHT)
    Meskipun sifat hak tanggungan tidak dapat dibagi-bagi, artinya hak tanggungan membenani obyek secara utuh, namun sifat ini tidak berlaku mutlak dengan pengecualian dimungkinkan roya parsial , sepanjang diperjanjikan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT).
  2. bersifat accesoir atau perjanjian buntutan/ikutan, maksudnya perjanjian jaminan utang atas hak tanggungan tidak berdiri sendiri karena ikut pada perjanjian pokok yaitu perjanjian utang-piutang, apabila perjanjian pokok hapus atau batal, maka otomatis perjanjian accesoir menjadi hapus pula.
C. Objek Hak Tanggungan

Objek hak tanggungan adalah hak-hak atas tanah yang diatur dalam UUPA. Benda-benda (tanah) akan dijadikan jaminan atas suatu utang dengan dibebani hak tanggungan harus memenuhi syarat sebagai berikut:
  1. dapat dinilai dengan uang;
  2. harus memenuhi syarat publisitas;
  3. mempunyai sifat droit de suite apabila debitor cidera janji;
  4. memerlukan penunjukkan menurut UU.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas yang dapat dijadikan obyek hak tanggungan adalah hak-hak atas tanah yang dapat dibebani hak tanggungan adalah hak milik,hak guna usaha,hak guna bangunan,hak pakai atas tanah Negara yang menurut ketentuan wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan dapat juga dibebani hak tanggungan.

Dijadikannya hak pakai sebagai obyek hak tanggungan merupakan langkah maju dalam hukum pertanahan kita juga bagi warga Negara asing menjadi pemegang hak pakai atas tanah Negara yang bila hak tersebut akan dijadikan jaminan disertai persyaratan bahwa modal yang diperoleh harus dipergunakan untuk kegiatan pembangunan di Indonesia. Pengawasan pemerintah terhadap WNA dalam pencapaian tujuan tersebut masih susah untuk dilaksanakan karena memang tidak ada penjabaran lebih lanjut dari maksud ketentuan persyaratan tersebut.

Menurut UU No.16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, pada pasal 12 ayat (1) ditegaskan “Rumah susun berikut tanah tempat bangunan itu berdiri serta benda lainnya yang merupakan atau kesatuan dengan tanah tersebut dpat dijadikan jaminan utang dengan:
dibebani hipotik, jika tanahnya tanah milik atau hak guna bangunan.

Dibebani fiducia, jika tanahnya hak pakai atau tanah Negara, namun dengan keluarnya UUHT maka hak pakai tidak lagi dibebankan dengan fiducia tetapi dengan hak tanggungan (pasal 27 UUHT). Selain obyek hak tanggungan seperti tersebut di atas, UUHT juga membuka kemungkinan pembebanan hak tanggungan atas tanah berikut bangunan dan tanaman yang ada diatasnya (pasal 4 ayat (4)), sepanjang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
  1. bangunan dan tanah yang bersangkutan merupakan satu kesatuan dengan tanahnya dan bangunan tersebut melekat pada tanah yang bersangkutan.
  2. pembebanannya dinyatakan dengan tegas oleh pihak-pihak yang bersangkutan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT).
  3. Ketentuan pasal 4 ayat (4) UUHT tersebut di atas sebagai konsekuensi dari penerapan asas pemilikan secara horizontal yang diambil dari hukum adat.
D. Kedudukan Kreditor

Hak tanggungan tidak dapat berdiri sendiri tanpa didukung oleh suatu perjanjian (perjanjian kredit) antara debitor dan kreditor. Dalam perjanjian itu diatur tentang hubungan hukum antara kreditor dan debitor, baik menyangkut besarnya jumlah kredit yang diterima oleh debitor, jangka waktu pengembalian kredit, maupun jaminan yang nantinya akan diikat dengan hak tanggungan. Oleh karena hak tanggungan tidak dapat dilepaskan dari perjanjian kredit, itulah sebabnya maka hak tanggungan dikatakan accessoir (mengikuti) perjanjian pokoknya.

Kredit yang diberikan oleh kreditor mengandung resiko, maka dalam setiap pemberian kredit, bank tidak diperkenankan memberikan kredit tanpa ada suatu perjanjian tertulis. Itu sebabnya diperlukan suatu jaminan kredit dengan disertai keyakinan akan kemampuan debitor melunasi utangnya. Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 8 UU Perbankan No.7/1992 yang menyatakan dalam memberikan kredit, bank umum wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitor untuk melunasi hutangnya sesuai yang diperjanjikan.

Dalam menjalankan suatu perjanjian khususnya dalam perjanjian kredit, para pihak (debitor, kreditor) selalu dibebani dua hal yaitu hak dan kewajiban Oleh Subekti (1979:29) mengatakan suatu perikatan yang dilahirkan oleh suatu perjanjian, mempunyai dua sudut: sudut kewajiban-kewajiban (obligations) yang dipikul oleh suatu pihak dan sudut hak-hak atau manfaat, yang diperoleh oleh lain pihak, yaitu hak-hak menurut dilaksanakannya sesuatu yang disanggupi dalam perjanjian itu.Jadi hak tanggungan merupakan jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu, yang memberi kedudukan diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lainnya.

Maksud dari kreditor diutamakan dari kreditor lainnya yaitu apabila debitor cidera janji, kreditor pemegang hak tanggungan dapat menjual barang agunan melalui pelelangan umum untuk pelunasan utang debitor. Kedudukan diutamakan tersebut tentu tidak mempengaruhi pelunasan utang debitor terhadap kreditor-kreditor lainnya.
Hukum mengenai perkreditan modern yang dijamin dengan hak tanggungan mengatur perjanjian dan hubungan utang-piutang tertentu antara kreditor dan debitor, yang meliputi hak kreditor untuk menjual lelang harta kekayaan tertentu yang ditunjuk secara khusus sebagai jaminan (obyek hak tanggungan) dan mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut jika debitor cidera janji.

Kreditor pemegang hak tanggungan mempunyai hak mendahulu daripada kreditor-kreditor yang lain (“droit de preference”) untuk mengambil pelunasan dari penjualan tersebut. Kemudian hak tanggungan juga tetap membebani obyek hak tanggungan ditangan siapapun benda itu berada, ini berarti bahwa kreditor pemegang hak tanggungan tetap berhak menjual lelang benda tersebut, biarpun sudah dipindahkan haknya kepada pihak lain (“droit de suite”) (Boedi Harsono, 1999:402).

Dalam hal terjadinya pengalihan barang jaminan kepada pihak lain tanpa seizing pihak kreditor maka kreditor dapat mengajukan action pauliana yaitu hak dari kreditor untuk membatalkan seluruh tindakan kreditor yang dianggap merugikan.
Dengan demikian, dalam perjanjian tanggungan, pihak kreditor tetap diberikan hak-hak yang dapat menghindarkannya dari praktek-praktek “nakal” debitor atau kelalaian debitor.

E. Kesimpulan

Dalam perjanjian tanggungan seorang kreditor diberikan hak untuk mendapatkan pelunasan terlebih dahulu dari pihak pemberi tanggungan selain itu, pihak kreditor dapat pula mengajukan actio pauliana dalam hal terjadinya pengalihan barag jaminan oleh debitor tanpa izin kreditor.
Dalam Undang-undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak tanggungan, disebutkan bahwa salah satu objek hak tanggungan adalah hak pakai.
Undang-undang No. 5 Tahun 1960 memberikan pengaturan dan menjadi payung hukum bagi masalah pertanahan di negara kita. Salah satu inti dari UUPA adalah pelaksanaan Landreform di Indonesia. Bagaimana keberadaan UUPA sebagai induk landreform di negara kita?
Perdata

Kedudukan Kreditor Dalam Penjaminan Dengan Hak Tanggungan

Posted by Andi Sufiarma  |  No comments

Oleh  Andi Sufiarma, S.H.,M.H.
KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN MAROS
Meningkatnya pembangunan nasional yang bertitik berat pada bidang ekonomi, dibutuhkan penyediaan dana yang cukup besar, sehingga memerlukan lembaga hak jaminan yang kuat dan mampu memberi kepastian hukum bagi pihak-pihak yang berkepentingan, yang dapat mendorong peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
Sejak bertakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria sampai dengan saat ini, ketentuan-ketentuan yang lengkap mengenai Hak Tanggungan sebagai lembaga hak jaminan yang dapat dibebankan atas tanah berikut atau tidak berikut benda-benda yang berkaitan dengan tanah, belum terbentuk. Ketentuan mengenai Hypotheek sebagaimana diatur dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang mengenai tanah, dan ketentuan mengenai Credietverband dalam Staatsblad 1908-542 sebagaimana telah diubah dengan Staatsblad 1937-190, yang berdasarkan Pasal 57 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, masih diberlakukan sementara sampai dengan terbentuknya Undang-Undang tentang Hak Tanggungan, dipandang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan kegiatan perkreditan, sehubungan dengan perkembangan tata ekonomi Indonesia sedangkan perkembangan yang telah dan akan terjadi di bidang pengaturan dan administrasi hak-hak atas tanah serta untuk memenuhi kebutuhan masyarakat banyak, selain Hak Milik, Hak Guna Usaha, dan Hak Guna Bangunan yang telah ditunjuk sebagai obyek Hak Tanggungan oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Hak Pakai atas tanah tertentu yang wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan, perlu juga dimungkinkan untuk dibebani Hak Tanggungan.

Berhubung dengan hal-hal tersebut di atas, maka dibentuklah Undang-undang yang mengatur Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, sekaligus mewujudkan unifikasi Hukum Tanah Nasional.

Hak tanggungan lahir dengan sebuah perjanjian. Dalam kenyataan, banyak pihak pemberi hak tanggungan yang ternyata lalai atau sengaja melalaikan kewajiban dalam pelaksanaan perjanjian, misalnya melakukan penjualan terhadap barang jaminan. Sehingga perlu kiranya dikaji lebih jauh kedudukan kreditor penerima tanggungan dalam hal terjadinya wanprestasi dari pemberi tanggungan.

A. Pengertian Hak Tanggungan

Hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain. Adapun beberapa unsur pokok dari hak tanggungan adalah:
  1. hak yaitu hak jaminan yang dibebankan atas tanah sebagai yang dimaksud oleh UUPA;
  2. berikut atau tidak berikut dengan benda-benda yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu;
  3. untuk pelunasan utang tertentu
  4. memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur yang lain.
B. Ciri-Ciri dan Sifat Hak Tanggungan

Adapun ciri-ciri hak tanggungan adalah:
  1. droit de prefenrence (pasal 1 angka 1 dan pasal 20 ayat (1) UUHT).
  2. droit de suite (pasal 7 UUHT)
  3. memenuhi asas spesialitas dan asas publisitas.
  4. asas spesialitas yaitu asas yang mewajibkan dalam muatan akta pemberian hak tanggungan harus mencantumkan ketentuan-ketentuan seperti ditegaskan dalam pasal 11 UUHT. Sedangkan asas publisitas yaitu asas yang mewajibkan didaftarkannya hak tanggungan pada kantor pertanahan setempat (pasal 13 UUHT).
  5. mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya.
  6. objek hak tanggungan tidak masuk dalam boedel kepailitan pemberi hak tanggungan sebelum kreditor pemegang hak tanggungan mengambil pelunasan dari hasil penjualan obyek hak tanggungan (pasal 21 UUHT).
Sedang sifat-sifat hak tanggungan antara lain:
  1. tidak dapat dibagi-bagi (pasal 2 UUHT)
    Meskipun sifat hak tanggungan tidak dapat dibagi-bagi, artinya hak tanggungan membenani obyek secara utuh, namun sifat ini tidak berlaku mutlak dengan pengecualian dimungkinkan roya parsial , sepanjang diperjanjikan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT).
  2. bersifat accesoir atau perjanjian buntutan/ikutan, maksudnya perjanjian jaminan utang atas hak tanggungan tidak berdiri sendiri karena ikut pada perjanjian pokok yaitu perjanjian utang-piutang, apabila perjanjian pokok hapus atau batal, maka otomatis perjanjian accesoir menjadi hapus pula.
C. Objek Hak Tanggungan

Objek hak tanggungan adalah hak-hak atas tanah yang diatur dalam UUPA. Benda-benda (tanah) akan dijadikan jaminan atas suatu utang dengan dibebani hak tanggungan harus memenuhi syarat sebagai berikut:
  1. dapat dinilai dengan uang;
  2. harus memenuhi syarat publisitas;
  3. mempunyai sifat droit de suite apabila debitor cidera janji;
  4. memerlukan penunjukkan menurut UU.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas yang dapat dijadikan obyek hak tanggungan adalah hak-hak atas tanah yang dapat dibebani hak tanggungan adalah hak milik,hak guna usaha,hak guna bangunan,hak pakai atas tanah Negara yang menurut ketentuan wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan dapat juga dibebani hak tanggungan.

Dijadikannya hak pakai sebagai obyek hak tanggungan merupakan langkah maju dalam hukum pertanahan kita juga bagi warga Negara asing menjadi pemegang hak pakai atas tanah Negara yang bila hak tersebut akan dijadikan jaminan disertai persyaratan bahwa modal yang diperoleh harus dipergunakan untuk kegiatan pembangunan di Indonesia. Pengawasan pemerintah terhadap WNA dalam pencapaian tujuan tersebut masih susah untuk dilaksanakan karena memang tidak ada penjabaran lebih lanjut dari maksud ketentuan persyaratan tersebut.

Menurut UU No.16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, pada pasal 12 ayat (1) ditegaskan “Rumah susun berikut tanah tempat bangunan itu berdiri serta benda lainnya yang merupakan atau kesatuan dengan tanah tersebut dpat dijadikan jaminan utang dengan:
dibebani hipotik, jika tanahnya tanah milik atau hak guna bangunan.

Dibebani fiducia, jika tanahnya hak pakai atau tanah Negara, namun dengan keluarnya UUHT maka hak pakai tidak lagi dibebankan dengan fiducia tetapi dengan hak tanggungan (pasal 27 UUHT). Selain obyek hak tanggungan seperti tersebut di atas, UUHT juga membuka kemungkinan pembebanan hak tanggungan atas tanah berikut bangunan dan tanaman yang ada diatasnya (pasal 4 ayat (4)), sepanjang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
  1. bangunan dan tanah yang bersangkutan merupakan satu kesatuan dengan tanahnya dan bangunan tersebut melekat pada tanah yang bersangkutan.
  2. pembebanannya dinyatakan dengan tegas oleh pihak-pihak yang bersangkutan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT).
  3. Ketentuan pasal 4 ayat (4) UUHT tersebut di atas sebagai konsekuensi dari penerapan asas pemilikan secara horizontal yang diambil dari hukum adat.
D. Kedudukan Kreditor

Hak tanggungan tidak dapat berdiri sendiri tanpa didukung oleh suatu perjanjian (perjanjian kredit) antara debitor dan kreditor. Dalam perjanjian itu diatur tentang hubungan hukum antara kreditor dan debitor, baik menyangkut besarnya jumlah kredit yang diterima oleh debitor, jangka waktu pengembalian kredit, maupun jaminan yang nantinya akan diikat dengan hak tanggungan. Oleh karena hak tanggungan tidak dapat dilepaskan dari perjanjian kredit, itulah sebabnya maka hak tanggungan dikatakan accessoir (mengikuti) perjanjian pokoknya.

Kredit yang diberikan oleh kreditor mengandung resiko, maka dalam setiap pemberian kredit, bank tidak diperkenankan memberikan kredit tanpa ada suatu perjanjian tertulis. Itu sebabnya diperlukan suatu jaminan kredit dengan disertai keyakinan akan kemampuan debitor melunasi utangnya. Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 8 UU Perbankan No.7/1992 yang menyatakan dalam memberikan kredit, bank umum wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitor untuk melunasi hutangnya sesuai yang diperjanjikan.

Dalam menjalankan suatu perjanjian khususnya dalam perjanjian kredit, para pihak (debitor, kreditor) selalu dibebani dua hal yaitu hak dan kewajiban Oleh Subekti (1979:29) mengatakan suatu perikatan yang dilahirkan oleh suatu perjanjian, mempunyai dua sudut: sudut kewajiban-kewajiban (obligations) yang dipikul oleh suatu pihak dan sudut hak-hak atau manfaat, yang diperoleh oleh lain pihak, yaitu hak-hak menurut dilaksanakannya sesuatu yang disanggupi dalam perjanjian itu.Jadi hak tanggungan merupakan jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu, yang memberi kedudukan diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lainnya.

Maksud dari kreditor diutamakan dari kreditor lainnya yaitu apabila debitor cidera janji, kreditor pemegang hak tanggungan dapat menjual barang agunan melalui pelelangan umum untuk pelunasan utang debitor. Kedudukan diutamakan tersebut tentu tidak mempengaruhi pelunasan utang debitor terhadap kreditor-kreditor lainnya.
Hukum mengenai perkreditan modern yang dijamin dengan hak tanggungan mengatur perjanjian dan hubungan utang-piutang tertentu antara kreditor dan debitor, yang meliputi hak kreditor untuk menjual lelang harta kekayaan tertentu yang ditunjuk secara khusus sebagai jaminan (obyek hak tanggungan) dan mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut jika debitor cidera janji.

Kreditor pemegang hak tanggungan mempunyai hak mendahulu daripada kreditor-kreditor yang lain (“droit de preference”) untuk mengambil pelunasan dari penjualan tersebut. Kemudian hak tanggungan juga tetap membebani obyek hak tanggungan ditangan siapapun benda itu berada, ini berarti bahwa kreditor pemegang hak tanggungan tetap berhak menjual lelang benda tersebut, biarpun sudah dipindahkan haknya kepada pihak lain (“droit de suite”) (Boedi Harsono, 1999:402).

Dalam hal terjadinya pengalihan barang jaminan kepada pihak lain tanpa seizing pihak kreditor maka kreditor dapat mengajukan action pauliana yaitu hak dari kreditor untuk membatalkan seluruh tindakan kreditor yang dianggap merugikan.
Dengan demikian, dalam perjanjian tanggungan, pihak kreditor tetap diberikan hak-hak yang dapat menghindarkannya dari praktek-praktek “nakal” debitor atau kelalaian debitor.

E. Kesimpulan

Dalam perjanjian tanggungan seorang kreditor diberikan hak untuk mendapatkan pelunasan terlebih dahulu dari pihak pemberi tanggungan selain itu, pihak kreditor dapat pula mengajukan actio pauliana dalam hal terjadinya pengalihan barag jaminan oleh debitor tanpa izin kreditor.
Dalam Undang-undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak tanggungan, disebutkan bahwa salah satu objek hak tanggungan adalah hak pakai.
Undang-undang No. 5 Tahun 1960 memberikan pengaturan dan menjadi payung hukum bagi masalah pertanahan di negara kita. Salah satu inti dari UUPA adalah pelaksanaan Landreform di Indonesia. Bagaimana keberadaan UUPA sebagai induk landreform di negara kita?

Wednesday, May 05, 2010 Share:

0 comments:

Oleh : Andi Emelda Suardi, S.P.   

Tanah memiliki hubungan yang abadi dengan manusia. Pengaturan tentang penguasaan pemilikan tanah telah disadari dan dijalankan sejak berabad-abad lamanya oleh negara-negara di dunia. Perombakan atau pembaruan struktur keagrariaan terutama tanah dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat terutama rakyat tani yang semula tidak memiliki lahan olahan/garapan untuk memiliki tanah. Oleh Parlindungan (1980:27) dikatakan bahwa negara yang ingin maju harus mengadakan land reform.

Hampir semua negara di dunia pernah melakukan reforma agraria. Tonggak pertama reforma agraria dimulai dari Yunani Kuno, Romawi Kuno, Inggris, Perancis, hingga Rusia. Pada masa itu kaum bangsawan dengan fasilitas yang dimilikinya pada umumnya menguasai lahan-lahan pertanian yang luas. Untuk mencegah pemberontakan rakyat terutama petani-petani yang tidak mempunyai lahan atau mempunyai lahan tetapi sempit maka Kaisar mengeluarkan titah tentang pembagian kembali lahan-lahan pertanian kepada petani . Dilaksanakannya Konferensi Dunia mengenai Reforma Agraria dan Pembangunan Pedesaan (World Conference on Agrarian Reform and Rural Developent) yang diselenggrakanan oleh FAO (Food and Agriculture Organisation) PBB di Roma pada bulan Juli 1979 merupakan tonggak yang penting dalam sejarah perjuangan yang panjang untuk melawan kemiskinan dan kelaparan. Konferensi ini berhasil merumuskan Deklarasi Prinsip-prinsip dan Program Kegiatan (Declaration of Principles and Programme of Action) yang dikenal dengan Piagam Petani (The Peasants’ Charter).
Indonesia merupakan salah satu peserta dari konferensi dunia itu melakukan pembaruan di bidang keagrariaan pada periode 1960-an sebagai perwujudan dari pasal 33 ayat (3) UUD 1945, dengan dikeluarkannya Undang-Undang No.5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (disingkat UUPA) pada tanggal 24 September 1960, yang selanjutnya diikuti dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) No.56 Tahun 1960 tentang Luas batas maksimum dan minimum pemilikan tanah , pada tanggal 24 Desember 1960.

Pertanyaan sekarang adalah sejauhmanakah urgensi pembatasan luas batas maksimum dan minimum kepemilikan tanah dalam upaya pencegahan dan penyelesaian konflik pertanahan di Indonesia?

1. Pengertian dan Dasar Hukum Landreform
Land Reform diartikan dengan perubahan struktur penguasaan pemilikan tanah. Oleh A.P. Parlindungan dikatakan istilah land reform bukan hanya dalam pengertian politik belaka tapi juga pengertian teknis. Land reform di Negara-negara komunis merupakan slogan untuk memenangkan massa rakyat, karena issue tanah, pemilikan tanah, distribusi tanah, hancurkan tuan tanah adalah issue emosional yang sangat menarik, sehingga banyak sarjana maupun FAO (Food and Agricultural Organization) mempergunakan istilah Agrarian Reform daripada istilah Land Reform (Parlindungan A.P. 1989:8).

Agrarian reform Indonesia meliputi lima program yaitu:
pembaharuan hukum agrarian
penghapusan hak-hak asing dan konsesi-konsesi colonial atas tanah
mengakhiri penghisapan feudal secara berangsur-angsur
perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan-hubungan hukum yang bersangkutan dengan penguasaan tanah
perencanaan persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya serta penggunaan bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu secara berencana sesuai dengan daya kesanggupan dan kemampuannya.

Keseluruhan yang tersebut di atas merupakan pengertian land reform dalam arti luas sedangkan pengertian land reform dalam arti sempit terdapat pada point 4.(Perangin, Effendi, 1989:121).

2. Dasar Hukum Land Reform:
Sebagai pelaksanaan dari pasal 17 UUPA tentang batas minimum dan maksimum hak atas tanah, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) No.56 Tahun 1960 pada tanggal 29 Desember 1960 dan mulai berlaku tanggal 1 Januari 1960. Perpu No. 56/1960 ini kemudian ditetapkan menjadi Undang-undang No.56 Prp tahun 1960 (LN 1960 no. 174, Penjelasannya dimuat dalam TLN No. 5117 tentang Penetapan luas tanah pertanian. UU No. 56/1960 merupakan undang-undang land reform di Indonesia (Harsono, Boedi, 1999:356). Selanjutnya dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 224 tahun 1961 (LN 1961-280) tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Rugi. (Parlindungan, A.P., dalam Nur, S.R., 1986:23).

3. Tujuan Land Reform
Tujuan dari land reform yang diselenggarakan di Indonesia adalah untuk mempertinggi penghasilan dan taraf hidup para petani penggarap tanah, sebagai landasan atau prasyarat untuk menyelenggarakan pembangunan ekonomi menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.

4. Program Land Reform
Program land reform meliputi:
pembatasan luas maksimum pemilikan tanah
larangan pemilikan tanah secara apa yang disebut “absentee” atau “guntai”
redistribusi tanah-tanah yang selebihnya dari batas maksimum, tanah-tanah yang terkena larangan “absentee”, tanah-tanah bekas swapraja dan tanah-tanah Negara
pengaturan soal pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang digadaikan.
pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian, dan
penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian, disertai larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah-tanah pertanian menjadi bagian-bagian yang terlampau kecil.

5. Analisis

Sebagaimana di uraikan di atas bahwa salah satu program landreform adalah pembatasan luas maksimum dan minimum tanah yang dapat dimiliki oleh rakyat. Namun, Pelaksanaan pembatasan kepemilikan tanah hingga sekian puluh tahun usia UUPA masih juga belum seperti yang diharapkan. Ini tampak dari beberapa hal yaitu :

Pertama, kepemilikan tanah secara absentee, yang seringkali merupakan hal yang diketahui, tetapi sulit untuk dibuktikan karena dilakukan melalui cara-cara pembuatan surat kuasa mutlak atau pemilikan KTP ganda.


Kedua, pemilikan batas maksimum juga tidak selalu terdeteksi dan hal-hal seperti ini menyumbang pada persoalan macetnya program landreform.

Ketiga, belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang maksimum luas tanah yang dapat dikuasai dengan menggunakan hak guna usaha (HGU). Pada pasal 28 ayat 2 Undang-undang Pokok Agraria, hanya disebutkan bahwa HGU diberikan atas tanah yang luasnya minimal lima hektar, den-gan ketentuan bahwa jika luasnya 25 hektar atau lebih harus memakai investasi modal yang layak dan tek-nik perusahaan yang baik, sesuai dengan perkembangan jaman. UUPA sama sekali tidak menyinggung tentang luas maksimal HGU.

Untuk HGU, bila luasnya kurang dari 25 hektar dan peruntukan tanahnya bukan untuk tanaman keras serta perpanjangan waktunya tidak lebih dari lima tahun, maka yang berwenang memberikan adalah Gubernur. Selanjutnya, peraturan Kepala BPN No. 3 tahun 1992 menyebutkan pemberian HGU kurang dari 100 hektar ditandatangani oleh Kepala Kantor Wilayah BPN setempat, sedangkan untuk HGU yang mencapai lebih dari 100 hektar diberikan oleh Kepala BPN.

Luas maksimum tanah hak guna bangunan (HGB) juga tidak diatur oleh UUPA. Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 6 tahun 1972, Pasal 4 menyatakan keputusan pemberian HGB untuk tanah yang luasnya tidak lebih dari 2.000 meter persegi dan jangka waktunya tidak melebihi 20 tahun di-berikan oleh Gubernur. Sedangkan menurut peraturan Meneg Agraria No. 2 tahun 1993, Surat Keputusan pemberian HGB untuk tanah yang luasnya lebih dari 5 hektar diterbitkan oleh Kakanwil BPN dan jika luasnya kurang dari 5 hektar diterbitkan oleh Kepala Kantor Pertanahan. Hal ini menjadi salah hambatan dalam pelaksanaan aturan tentang batas luas maksimum dan minimum tanah yang dapat dimiliki.
Peraturan yang jelas dan tegas tentang pembatasan pemilikan tanah kini menjadi semakin penting, seiring dengan kebutuhan atas tanah yang semakin meningkat. Terhadap penguasaan tanah pertanian, Pasal 7 UUPA meletakkan prinsip bahwa pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperk-enankan agar tidak merugikan kepentingan umum. Maka, Pasal 11 ayat (1) UUPA mengatur hubungan antara orang dengan tanah beserta wewenang yang timbul darinya. Hal ini juga dilakukan guna mencegah penguasaan atas kehidupan dan perkerjaan orang lain yang melampaui batas. Kemudian ayat 2 dari pasal yang sama juga memperhatikan adanya perbedaan da-lam keadaan dan keperluan hukum berbagai golongan masyarakat sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.
Penekanan dari aturan ini adalah akan diberikannya jaminan perlindungan terhadap kepentingan golongan ekonomi lemah. Dalam Pasal 12 dan Pasal 13 UUPA, pemerintah menegaskan usaha pencegahan monopoli swasta. Sedang-kan usaha pemerintah dalam lapangan agraria yang bersifat monopoli hanya dapat diselenggarakan dengan undang-undang.

Masalah penguasaan tanah pertanian, prinsip dasarnya telah digariskan dalam Pasal 7 dan Pasal 10 (prinsip mengerjakan atau mengusahakan sendiri hak atas tanah pertanian secara aktif) serta Pasal 17 yang mengisyaratkan tentang perlunya peraturan mengenai batas maksimum luas tanah pertanian yang dapat dipunyai oleh satu keluarga atau badan hukum.
Urusan tanah-tanah nonpertanian diatur dengan UU No. 56 PRP tahun 1960 Pasal 12 tentang perlunya pembatasan maksimum luas dalam jumlah (bidang) tanah untuk perumahan. Sedangkan untuk pembangunan lainnya akan diatur dengan peraturan pemerintah (PP). Namun hingga saat ini PP tersebut masih belum juga terbit.
Sebelum memperoleh hak atas tanah, pemilik HGU dan HGB (biasanya adalah penanam modal) harus memperoleh ijin lokasi yang sering berdampak negatif karena disalah gunakan serta pengawasan dan pengendaliannya tidak efektif. Perolehan tanah lewat ijin lokasi tanpa ketentuan batas maksimum tanah sering diwarnai dengan pemberian ganti rugi yang tidak adil dan disertai pemaksaan kehendak secara sepihak dan penggusuran. Alih fungsi tanah pertanian sering dilakukan untuk dijual lagi dengan harga mahal.

Tanah tidak pernah dijadikan strategi pembangunan sehingga pelaksanaan UUPA sering terhambat secara politis psikologis. Hingga kini belum ada alokasi penggunaan tanah untuk berbagai keperluan sehingga sering timpang. Rencana tata ruang juga sering dimanipulasi oleh banyak pihak. Pemerintah saat ini perlu memiliki lembaga penyalur tanah (land banking), untuk mengendalikan pihak swasta yang ingin menguasai tanah secara besar-besaran untuk berbagai keperluan. Selain itu, orientasi pembangunan yang cenderung mengejar pertumbuhan dan bertumpu pada strategi industrialisasi tanpa perencanaan penggunaan tanah yang baik, berakibat pada pengalihfungsian tanah-tanah pertanian untuk kegunaannya yang lain. Akibat dari ketimpangan akses kepemilikan tanah ditambah dengan rasa ketidakadilan dari bekas pe-megang hak atas tanah yang tergusur dan kecemburuan sosial dari masyarakat yang tersingkirkan dari ke-sempatan memperoleh tanah, ditambah krisis moneter yang membuat banyak orang terkena PHK, kini tampak dalam bentuk penyerobotan dan "penjarahan" tanah.
Pilihan kebijakan pertanahan dalam kaitannya dengan penguasaan tanah adalah keseimbangan antara memberikan ruang gerak bagi berkembangnya investas sekaligus melindungi dan memberdayakan masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya atas tanah. Jika dapat memilih, maka dasar kebijakan yang perlu diambil haruslah kebijakan pertanahan yang bertumpu pada ekonomi kerakyatan demi pelaksanaan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Kata kunci dari semuanya adalah tanah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Kebijaksanaan pertanahan harus mampu menjamin keadilan untuk mendapat akses dalam perolehan dan pemanfaatan tanah. Selain itu, kebijakan ini mengikutsertakan masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan dan berbagai keputusan penting yang menyangkut pemanfaatan tanah terutama yang berskala dan berdampak besar. Masyarakat juga harus dapat turut mengawasi terlaksananya berbagai ketentuan yang menyangkut pen-guasaan tanah yang punya dampak besar.
Sudah saatnya dilakukan sesuatu yang konkrit melalui pendekatan holistik dalam merancang kebijakan pe-nataan kembali penguasaan tanah agar kebijakan yang diterbitkan tidak terkesan parsial atau justru malah bertentangan sama sekali.

Dari uraian ini disimpulkan bahwa pembatasan luas maksimum dan minimum tanah merupakan hal yang penting karena pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan dapat merugikan kepentingan umum. Selain itu, pembatasan juga dapat memberi pengaturan untuk mengatur hubungan antara orang dengan tanah beserta wewenang yang timbul darinya. Hal ini juga dilakukan guna mencegah penguasaan atas kehidupan dan perkerjaan orang lain yang melampaui batas. Penekanan lain dari aturan ini adalah akan diberikannya jaminan perlindungan terhadap kepentingan golongan ekonomi lemah dengan melakukan usaha pencegahan monopoli swasta. Hal ini dapat lebih memudahkan proses pencegahan atau penyelesaian konflik pertanahan yang timbul di kemudian hari.  

Luas Maksimum Pemilikan Tanah

Posted by Andi Sufiarma  |  6 comments

Oleh : Andi Emelda Suardi, S.P.   

Tanah memiliki hubungan yang abadi dengan manusia. Pengaturan tentang penguasaan pemilikan tanah telah disadari dan dijalankan sejak berabad-abad lamanya oleh negara-negara di dunia. Perombakan atau pembaruan struktur keagrariaan terutama tanah dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat terutama rakyat tani yang semula tidak memiliki lahan olahan/garapan untuk memiliki tanah. Oleh Parlindungan (1980:27) dikatakan bahwa negara yang ingin maju harus mengadakan land reform.

Hampir semua negara di dunia pernah melakukan reforma agraria. Tonggak pertama reforma agraria dimulai dari Yunani Kuno, Romawi Kuno, Inggris, Perancis, hingga Rusia. Pada masa itu kaum bangsawan dengan fasilitas yang dimilikinya pada umumnya menguasai lahan-lahan pertanian yang luas. Untuk mencegah pemberontakan rakyat terutama petani-petani yang tidak mempunyai lahan atau mempunyai lahan tetapi sempit maka Kaisar mengeluarkan titah tentang pembagian kembali lahan-lahan pertanian kepada petani . Dilaksanakannya Konferensi Dunia mengenai Reforma Agraria dan Pembangunan Pedesaan (World Conference on Agrarian Reform and Rural Developent) yang diselenggrakanan oleh FAO (Food and Agriculture Organisation) PBB di Roma pada bulan Juli 1979 merupakan tonggak yang penting dalam sejarah perjuangan yang panjang untuk melawan kemiskinan dan kelaparan. Konferensi ini berhasil merumuskan Deklarasi Prinsip-prinsip dan Program Kegiatan (Declaration of Principles and Programme of Action) yang dikenal dengan Piagam Petani (The Peasants’ Charter).
Indonesia merupakan salah satu peserta dari konferensi dunia itu melakukan pembaruan di bidang keagrariaan pada periode 1960-an sebagai perwujudan dari pasal 33 ayat (3) UUD 1945, dengan dikeluarkannya Undang-Undang No.5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (disingkat UUPA) pada tanggal 24 September 1960, yang selanjutnya diikuti dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) No.56 Tahun 1960 tentang Luas batas maksimum dan minimum pemilikan tanah , pada tanggal 24 Desember 1960.

Pertanyaan sekarang adalah sejauhmanakah urgensi pembatasan luas batas maksimum dan minimum kepemilikan tanah dalam upaya pencegahan dan penyelesaian konflik pertanahan di Indonesia?

1. Pengertian dan Dasar Hukum Landreform
Land Reform diartikan dengan perubahan struktur penguasaan pemilikan tanah. Oleh A.P. Parlindungan dikatakan istilah land reform bukan hanya dalam pengertian politik belaka tapi juga pengertian teknis. Land reform di Negara-negara komunis merupakan slogan untuk memenangkan massa rakyat, karena issue tanah, pemilikan tanah, distribusi tanah, hancurkan tuan tanah adalah issue emosional yang sangat menarik, sehingga banyak sarjana maupun FAO (Food and Agricultural Organization) mempergunakan istilah Agrarian Reform daripada istilah Land Reform (Parlindungan A.P. 1989:8).

Agrarian reform Indonesia meliputi lima program yaitu:
pembaharuan hukum agrarian
penghapusan hak-hak asing dan konsesi-konsesi colonial atas tanah
mengakhiri penghisapan feudal secara berangsur-angsur
perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan-hubungan hukum yang bersangkutan dengan penguasaan tanah
perencanaan persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya serta penggunaan bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu secara berencana sesuai dengan daya kesanggupan dan kemampuannya.

Keseluruhan yang tersebut di atas merupakan pengertian land reform dalam arti luas sedangkan pengertian land reform dalam arti sempit terdapat pada point 4.(Perangin, Effendi, 1989:121).

2. Dasar Hukum Land Reform:
Sebagai pelaksanaan dari pasal 17 UUPA tentang batas minimum dan maksimum hak atas tanah, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) No.56 Tahun 1960 pada tanggal 29 Desember 1960 dan mulai berlaku tanggal 1 Januari 1960. Perpu No. 56/1960 ini kemudian ditetapkan menjadi Undang-undang No.56 Prp tahun 1960 (LN 1960 no. 174, Penjelasannya dimuat dalam TLN No. 5117 tentang Penetapan luas tanah pertanian. UU No. 56/1960 merupakan undang-undang land reform di Indonesia (Harsono, Boedi, 1999:356). Selanjutnya dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 224 tahun 1961 (LN 1961-280) tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Rugi. (Parlindungan, A.P., dalam Nur, S.R., 1986:23).

3. Tujuan Land Reform
Tujuan dari land reform yang diselenggarakan di Indonesia adalah untuk mempertinggi penghasilan dan taraf hidup para petani penggarap tanah, sebagai landasan atau prasyarat untuk menyelenggarakan pembangunan ekonomi menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.

4. Program Land Reform
Program land reform meliputi:
pembatasan luas maksimum pemilikan tanah
larangan pemilikan tanah secara apa yang disebut “absentee” atau “guntai”
redistribusi tanah-tanah yang selebihnya dari batas maksimum, tanah-tanah yang terkena larangan “absentee”, tanah-tanah bekas swapraja dan tanah-tanah Negara
pengaturan soal pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang digadaikan.
pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian, dan
penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian, disertai larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah-tanah pertanian menjadi bagian-bagian yang terlampau kecil.

5. Analisis

Sebagaimana di uraikan di atas bahwa salah satu program landreform adalah pembatasan luas maksimum dan minimum tanah yang dapat dimiliki oleh rakyat. Namun, Pelaksanaan pembatasan kepemilikan tanah hingga sekian puluh tahun usia UUPA masih juga belum seperti yang diharapkan. Ini tampak dari beberapa hal yaitu :

Pertama, kepemilikan tanah secara absentee, yang seringkali merupakan hal yang diketahui, tetapi sulit untuk dibuktikan karena dilakukan melalui cara-cara pembuatan surat kuasa mutlak atau pemilikan KTP ganda.


Kedua, pemilikan batas maksimum juga tidak selalu terdeteksi dan hal-hal seperti ini menyumbang pada persoalan macetnya program landreform.

Ketiga, belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang maksimum luas tanah yang dapat dikuasai dengan menggunakan hak guna usaha (HGU). Pada pasal 28 ayat 2 Undang-undang Pokok Agraria, hanya disebutkan bahwa HGU diberikan atas tanah yang luasnya minimal lima hektar, den-gan ketentuan bahwa jika luasnya 25 hektar atau lebih harus memakai investasi modal yang layak dan tek-nik perusahaan yang baik, sesuai dengan perkembangan jaman. UUPA sama sekali tidak menyinggung tentang luas maksimal HGU.

Untuk HGU, bila luasnya kurang dari 25 hektar dan peruntukan tanahnya bukan untuk tanaman keras serta perpanjangan waktunya tidak lebih dari lima tahun, maka yang berwenang memberikan adalah Gubernur. Selanjutnya, peraturan Kepala BPN No. 3 tahun 1992 menyebutkan pemberian HGU kurang dari 100 hektar ditandatangani oleh Kepala Kantor Wilayah BPN setempat, sedangkan untuk HGU yang mencapai lebih dari 100 hektar diberikan oleh Kepala BPN.

Luas maksimum tanah hak guna bangunan (HGB) juga tidak diatur oleh UUPA. Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 6 tahun 1972, Pasal 4 menyatakan keputusan pemberian HGB untuk tanah yang luasnya tidak lebih dari 2.000 meter persegi dan jangka waktunya tidak melebihi 20 tahun di-berikan oleh Gubernur. Sedangkan menurut peraturan Meneg Agraria No. 2 tahun 1993, Surat Keputusan pemberian HGB untuk tanah yang luasnya lebih dari 5 hektar diterbitkan oleh Kakanwil BPN dan jika luasnya kurang dari 5 hektar diterbitkan oleh Kepala Kantor Pertanahan. Hal ini menjadi salah hambatan dalam pelaksanaan aturan tentang batas luas maksimum dan minimum tanah yang dapat dimiliki.
Peraturan yang jelas dan tegas tentang pembatasan pemilikan tanah kini menjadi semakin penting, seiring dengan kebutuhan atas tanah yang semakin meningkat. Terhadap penguasaan tanah pertanian, Pasal 7 UUPA meletakkan prinsip bahwa pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperk-enankan agar tidak merugikan kepentingan umum. Maka, Pasal 11 ayat (1) UUPA mengatur hubungan antara orang dengan tanah beserta wewenang yang timbul darinya. Hal ini juga dilakukan guna mencegah penguasaan atas kehidupan dan perkerjaan orang lain yang melampaui batas. Kemudian ayat 2 dari pasal yang sama juga memperhatikan adanya perbedaan da-lam keadaan dan keperluan hukum berbagai golongan masyarakat sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.
Penekanan dari aturan ini adalah akan diberikannya jaminan perlindungan terhadap kepentingan golongan ekonomi lemah. Dalam Pasal 12 dan Pasal 13 UUPA, pemerintah menegaskan usaha pencegahan monopoli swasta. Sedang-kan usaha pemerintah dalam lapangan agraria yang bersifat monopoli hanya dapat diselenggarakan dengan undang-undang.

Masalah penguasaan tanah pertanian, prinsip dasarnya telah digariskan dalam Pasal 7 dan Pasal 10 (prinsip mengerjakan atau mengusahakan sendiri hak atas tanah pertanian secara aktif) serta Pasal 17 yang mengisyaratkan tentang perlunya peraturan mengenai batas maksimum luas tanah pertanian yang dapat dipunyai oleh satu keluarga atau badan hukum.
Urusan tanah-tanah nonpertanian diatur dengan UU No. 56 PRP tahun 1960 Pasal 12 tentang perlunya pembatasan maksimum luas dalam jumlah (bidang) tanah untuk perumahan. Sedangkan untuk pembangunan lainnya akan diatur dengan peraturan pemerintah (PP). Namun hingga saat ini PP tersebut masih belum juga terbit.
Sebelum memperoleh hak atas tanah, pemilik HGU dan HGB (biasanya adalah penanam modal) harus memperoleh ijin lokasi yang sering berdampak negatif karena disalah gunakan serta pengawasan dan pengendaliannya tidak efektif. Perolehan tanah lewat ijin lokasi tanpa ketentuan batas maksimum tanah sering diwarnai dengan pemberian ganti rugi yang tidak adil dan disertai pemaksaan kehendak secara sepihak dan penggusuran. Alih fungsi tanah pertanian sering dilakukan untuk dijual lagi dengan harga mahal.

Tanah tidak pernah dijadikan strategi pembangunan sehingga pelaksanaan UUPA sering terhambat secara politis psikologis. Hingga kini belum ada alokasi penggunaan tanah untuk berbagai keperluan sehingga sering timpang. Rencana tata ruang juga sering dimanipulasi oleh banyak pihak. Pemerintah saat ini perlu memiliki lembaga penyalur tanah (land banking), untuk mengendalikan pihak swasta yang ingin menguasai tanah secara besar-besaran untuk berbagai keperluan. Selain itu, orientasi pembangunan yang cenderung mengejar pertumbuhan dan bertumpu pada strategi industrialisasi tanpa perencanaan penggunaan tanah yang baik, berakibat pada pengalihfungsian tanah-tanah pertanian untuk kegunaannya yang lain. Akibat dari ketimpangan akses kepemilikan tanah ditambah dengan rasa ketidakadilan dari bekas pe-megang hak atas tanah yang tergusur dan kecemburuan sosial dari masyarakat yang tersingkirkan dari ke-sempatan memperoleh tanah, ditambah krisis moneter yang membuat banyak orang terkena PHK, kini tampak dalam bentuk penyerobotan dan "penjarahan" tanah.
Pilihan kebijakan pertanahan dalam kaitannya dengan penguasaan tanah adalah keseimbangan antara memberikan ruang gerak bagi berkembangnya investas sekaligus melindungi dan memberdayakan masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya atas tanah. Jika dapat memilih, maka dasar kebijakan yang perlu diambil haruslah kebijakan pertanahan yang bertumpu pada ekonomi kerakyatan demi pelaksanaan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Kata kunci dari semuanya adalah tanah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Kebijaksanaan pertanahan harus mampu menjamin keadilan untuk mendapat akses dalam perolehan dan pemanfaatan tanah. Selain itu, kebijakan ini mengikutsertakan masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan dan berbagai keputusan penting yang menyangkut pemanfaatan tanah terutama yang berskala dan berdampak besar. Masyarakat juga harus dapat turut mengawasi terlaksananya berbagai ketentuan yang menyangkut pen-guasaan tanah yang punya dampak besar.
Sudah saatnya dilakukan sesuatu yang konkrit melalui pendekatan holistik dalam merancang kebijakan pe-nataan kembali penguasaan tanah agar kebijakan yang diterbitkan tidak terkesan parsial atau justru malah bertentangan sama sekali.

Dari uraian ini disimpulkan bahwa pembatasan luas maksimum dan minimum tanah merupakan hal yang penting karena pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan dapat merugikan kepentingan umum. Selain itu, pembatasan juga dapat memberi pengaturan untuk mengatur hubungan antara orang dengan tanah beserta wewenang yang timbul darinya. Hal ini juga dilakukan guna mencegah penguasaan atas kehidupan dan perkerjaan orang lain yang melampaui batas. Penekanan lain dari aturan ini adalah akan diberikannya jaminan perlindungan terhadap kepentingan golongan ekonomi lemah dengan melakukan usaha pencegahan monopoli swasta. Hal ini dapat lebih memudahkan proses pencegahan atau penyelesaian konflik pertanahan yang timbul di kemudian hari.  

Wednesday, May 05, 2010 Share:

6 comments:

Oleh : Andi Sufiarma, S.H., M.H.
Kantor Pertanahan Kabupaten Maros

Pokok-pokok pikiran yang tercantum di dalam Pasal 33 menekankan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada seluruh rakyat Indonesia, merupakan pokok-pokok kemakmuran rakyat yang dikuasai oleh Negara dan ditujukan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia. Bertitik tolak dari pasal tersebut di atas, maka jelaslah bahwa negara dianggap bukan sebagai pemilik tanah dalam suatu wilayah negara, tetapi kewenangan negara untuk menguasai tanah tersebut semata-mata kepentingan masyarakat banyak.

Upaya pemerintah untuk memberikan suatu bentuk jaminan akan adanya kepastian hukum atas kepemilikan tanah bagi seseorang adalah dengan dilakukannya suatu pendaftaran hak atas tanah yang tertuang dalam Pasal 19 Undang-undang Pokok Agraria. Oleh karena itu, untuk pelaksanaan pendaftaran tanah sebagaimana maksud Pasal 19 ayat (1) Undang-undang Pokok Agraria (UUPA), maka Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah (selanjutnya disebut dengan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961).

Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tersebut membuka sejarah baru dalam hukum agraria. Sebab, untuk pertama kali Indonesia mempunyai suatu lembaga yang secara khusus mengatur tentang pelaksanaan pendaftaran tanah (Parlindungan, 1990:1). Namun lebih kurang 36 tahun setelah berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 ternyata upaya pemerintah dalam memberikan jaminan kepastian hukum atas tanah belum optimal, sehingga pemerintah merasa perlu untuk menyempurnakan dan menggantikan dengan suatu peraturan baru sehingga eksistensi Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 sudah direvisi atau dilakukan pengkajian ulang dari persoalan yang sangat mendasar.

Upaya dari perubahan tersebut dilakukan Pemerintah dengan dikeluarkannya suatu peraturan baru yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yang berlaku tgl 8 Oktober 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 merupakan realisasi Pemerintah dalam melakukan penyederhanaan pola pendaftaran tanah di Indonesia. Tujuan pembentukan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 adalah :
  1. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan
  2. Untuk menyediakan informasi kepada pihak yang berkepentingan agar mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum
  3. Untuk menyelenggarakan catur tertib pertanahan.


Dalam peraturan pemerintah tersebut ditentukan bahwa pendaftaran tanah diselenggarakan untuk memberikan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan dan bahwa sistem publikasinya adalah negatif tetapi mengandung unsur positif. Pendaftaran tanah dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 ini menggunakan 2 sistem yaitu :

  1. Sistem sistematik yang meliputi wilayah satu desa atau kelurahan yang dilakukan atas prakarsa pemerintah.
  2. Sistem sporadik yaitu pendaftaran mengenai bidang-bidang tanah atas permintaan pemegang hak yang bersangkutan baik secara individual maupun massal.

Daya pembuktian sertifikat tidak bisa dilepaskan dari kewenangan Pejabat Tata usaha Negara, yakni Kepala Badan Pertanahan Nasional/Kantor Pertanahan yang telah menempatkan tanda tanganya pada sertifikat yang tentunya dapat dipercaya oleh orang yang namanya tercantum dalam sertifikat tersebut. Di dalam daya pembuktian terdapat daya pembuktian formal dan daya pembuktian materil. Daya pembuktian materil, isi keterangan berlaku sebagai kebenaran buat siapapun dan orang yang namanya tercantum dalam sertifikat untuk kemanfaatannya, untuk keperluan siapa keterangan itu diberikan. Sedangkan daya pembuktian formil Kepala Kepala Badan Pertanahan Nasional/Kantor Pertanahan menerangkan apa yang berada di atas tanda tangannya dan orang yang tercantum dalam sertifikat benar-benar pemiliknya.

Kekuatan pembuktian sertifikat tidak lepas dari alas hak untuk penerbitan sertifikat tersebut. Dalam Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, salah satu alas hak yang diperkenankan selain akta autentik adalah surat di bawah tangan. Diperkenankannya surat di bawah tangan sebagai alas hak dalam penerbitan sertifikat saat ini banyak dilakukan untuk pendaftaran tanah pertama kali (bagi tanah-tanah yang belum terdaftar).

Dalam kenyataan yang ada, tidak jarang alas hak berupa surat di bawah tangan ini menimbulkan masalah di kemudian hari. Salah satunya adalah munculnya dua pihak yang mengaku sebagai pemilik atas tanah yang telah didaftarkan tersebut. Bahkan tidak jarang terjadi dalam proyek yang dilakukan oleh kantor pertanahan, 1 (satu) bidang tanah dikuasai oleh dua orang yang berbeda dengan alas hak yang berbeda tetapi ditandatangani oleh Kepala Kelurahan/Kepala Desa yang sama sehingga proses penerbitan menjadi terhambat. Dari uraian di atas terlihat bahwa surat di bawah tangan sebagai alas hak dalam penerbitan sertifikat khususnya sertifikat hak milik tidak lepas dari berbagai masalah .

Pendaftaran tanah pada hakikatnya bertujuan untuk memberikan kepastian hak kepada pemilik tanah. Terbitnya sertifikat merupakan pemberi rasa aman kepada pemilik tanah akan haknya pada tanah tersebut. Dalam rangka memberikan kepastian hukum kepada para pemegang hak atas tanah maka sertifikat tanah berfungsi sebagai pembuktian yang kuat. Sertifikat tanah merupakan tanda bukti yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya sepanjang data tersebut sesuai dengan data yang terdapat di dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan.

Salah satu masalah yang berkaitan erat dengan kepastian hukum dalam pendaftaran tanah adalah masalah pembuktian. Dalam pendaftaran tanah dikenal 2 (dua) pendaftaran hak yaitu :

a. Hak atas tanah baru. Pembuktian hak atas tanah baru dilakukan dengan :
  1. Penetapan pemberian hak dari pejabat yang berwenangmemberikan hak yang bersangkutan menurut ketentuan yang berlaku apabila pemberian hak berasal dari tnah negara atau tanah hak pengelolaan;
  2. Asli akta PPAT yang memuat pemberian hak oleh pemegang hak milik kepada penerima hak yang bersangkutan untuk hak guna bangunan dan hak pakai atas tanah hak milik;
  3. Hak pengelolaan dibuktikan dengan penetapan pemberian hak oleh pejabat yang berwenang;
  4. Tanah wakaf yang dibuktikan dengan akta ikrar wakaf;
  5. Hak milik atas satuan rumah susun yang dibuktikan dengan akta pemisahan;
  6. Pemberian Hak Tanggungan dibuktikan dengan akta pemberian Hak Tanggungan.

b. Pembuktian hak lama berdasarkan Pasal 24 PP No. 24 Tahun 1997 yaitu :

  1. Untuk keperluan pendaftaran tanah, hak atas tanah yang berasal dari konversi hak-hak lama dibuktikan dengan alat bukti menganai adanya hak tersebut berupa alat bukti tertulis, keterangan sanksi dan atau pernyataan yang bersangkutan yang kadar kebenarannya dianggap cukup untuk mendaftar hak, pemegang hak dan pihak lain yang membebaninya.
  2. Dalam hal tidak atau tidak lagi tersedia secara lengkap alat pembuktian maka pembuktian dapat dilakukan berdasarkan pentaanya penguasaan fisik tanah yang bersangkutan selama 20 tahun atau lebih secara berturut-turut oleh pemohon pendaftaran dan pendahulu-pendahulunya.
Dalam Pasal 60 PP No. 24 Tahun 1997 terdapat beberapa alat bukti tertulis yang dapat digunakan bagi pendaftaran hak-hak lama dan merupakan dokumen yang lengkap untuk kepentingan pendaftaran tanah adalah grosse akta hak eigendom, surat tanda bukti hak milik yang diterbitkan berdasarkan peraturan swapraja yang bersangkutan, sertifikat hak milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Menteri No. 9 Tahun 1959, surat keputusan pemberian hak milik dari pejabat yang berwenang baik sebelum atau sejak berlakunya UUPA, petuk Pajak Bumi sebelum berlakunya PP No, 10 Tahun 1961, akta pemindahan hak yang dibuat di bawah tangan yang dibubuhi kesaksian oleh Kepala Adat/Kepala Desa/Kelurahan yang dibuat sebelum berlakunya PP No. 24 Tahun 1997 dengan disertai alas hak yang dialihkan, akta pemindahan hak yang dibuat oleh PPAT, akta ikrar wakaf, risalah lelah yang dibuat oleh Pejabat Lelang, surat penunjukan atau pembelian kaveling tanah yang diambil pemerintah, surat keterangan riwayat tanah yang dibuat oleh Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan dengan disertai alas hak yang dialihkan.

Dari beberapa alat bukti lama yang dapat digunakan untuk melakukan pendaftaran tanah untuk pertama kali berdasarkan PP No. 24 Tahun 1997 penulis melihat ada 2 alat bukti yang perlu mendapatkan perhatian, yaitu :

1. Alat Bukti Kesaksian

Pembuktian dengan saksi dalam hukum pertanahan dipergunakan sebagai bukti kepemilikan sebidang tanah berupa bukti tertulis yang dimaksud di atas tidak lengkap atau tidak ada, maka pembuktian hak dapat dilakukan dengan pernyataan yang bersangkutan dan keterangan yang dipercaya dari sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi dari lingkungan msyarakat setempat yang tidak mempunyai hubungan keluarga dengan yang bersangkutan sampai derajat kedua baik dalam kekerabatan ke atas maupun ke samping.
Tujuan pendaftaran tanah pada hakikatnya adalah untuk memberikan jaminan kepastian hukum yang bermuara pada perlindungan hukum pemegang hak atas tanah. Dengan demikian, sertifikat tanah merupakan alat bukti yang sangat penting bagi subjek hukum atas tanah sehingga sangat naif sekali jika PP No. 24 Tahun 1997 mensyaratkan alat bukti saksi dalam melakukan proses penerbitan tanah karena menurut penulis alat bukti saksi memiliki bobot yang sangat ringan dan rentan terhadap risiko kekeliruan. Jika sebuah peristiwa telah terjadi dalam waktu yang lama maka tidak jarang terjadi bahwa apa yang terjadi tidak dapat diingat secara keseluruhan.
Untuk memberi kesaksian terhadap peristiwa yang telah lama bukanlah hal yang mudah. Pada umumnya pada waktu penangkapan kejadian, pihak saksi tidak mengarahkan tindakannya untuk menjadi saksi di kemudian hari sehingga pengamatannya pada saat kejadian dapat saja tidak teliti. Penangkapan sebuah peristiwa dan kemudian mengolahnya serta aklhirnya menuturkannya sebagai kesaksian merupakan proses yang dapat mengaburkan kebenaran di kemudian hari.

2. Alat Bukti Di Bawah Tangan

Dalam teori hukum dikenal 2 (dua) jenis akta yaitu akta otentik dan akta di bawah tangan. Akta otentik diatur dalam Pasal 165 HIR, Pasal 1868 BW dan Pasal 285 Rbg. Akta otentik berdasarkan pasal-pasal dalam bebrapa peraturan ini memiliki kekuatan bukti yang sempurna bagi kedua belah pihak, ahli warisnya dan orang-orangyang mendapat hak darinya.
Alat bukti di bawah tangan tidak diatur dalam HIR namun diatur dalam S 1867 No. 29 untuk Jawa dan Madura dan Pasal 286 sampai Pasal 305 Rbg. Akta di bawah tangan diakui dalam KUHPerdata. Dalam Pasal 1320 telah ditentukan syarat sahnya perjanjian. Dilihat dari 4 syarat sah yang dimaksud maka dapat ditafsirkan bahwa suatu akta yang tidak dibuat oleh dan dihadapan PPAT adalah tetap sah sepanjang para pihak telah sepakat dan memenuhi unsur-unsur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Fungsi akta ada 2 yaitu fungsi formal yang menentukan lengkapnya (bukan untuk sahnya) dan fungsi akta sebagai alat bukti di kemudian hari.
Kekuatan pembuktian antara akta otentik dengan akta di bawah tangan memiliki perbedaan. Dilihat dari kekuatan pembuktian lahir di mana sebuah akta autentik ditandatangani oleh pejabat yang berwenang maka beban pembuktian diserahkan kepada yang mempersoalkan keuatentikannya. Sedangkan untuk akta di bawah tangan maka secara lahir akta tersebut sangat berkait dengan tanda tangan. Jika tanda tangan diakui maka akta di bawah tangan memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna. Kekuatan yang dimiliki oleh tanda tangan bukan kekuatan pembuktian lahir yang kuat karena terdapat kemungkinan untuk disangkal.
Kekuatan pembuktian formal pada akta otentik memiliki kepastian hukum karena pejabatlah yang menerangkan kebenaran dari apa yang dilihat, didengar dan dilakukan pejabat, sedangkan untuk akta di bawah tangan maka pengakuan dari pihak yang bertanda tangan menjadi kekuatan pembuktian secara formal.
Sehubungan dengan keabsahan surat di bawah tangan maka peneliti meninjau dari dua hal :
1) Secara umum, di Indonesia terdapat beberapa yurisprudensi yang menegaskan bahwa transaksi yang tidak dilakukan di depan pejabat yang berwenang merupakan transaksi yang tidak sah menurut hukum sehingga para pihak tidak perlu mendapat perlindungan hukum. Yurisprudensi yang dimaksud antara lain Keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 598 K/Sip/1971 tertanggal 18 Desember 1971, Keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 601.K/Sip/1972 tertanggal 14 Maret 1973, Keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 393 K/Sip/1973 tertanggal 11 Juli 1973.
2) Secara khusus dalam aturan-aturn tentang pendaftaran tanah
Dalam Pasal 95 Peraturan Menteri Negara Agraria No. 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah adalah :
a. Akta tanah yang dibuat oleh PPAT untuk dijadikan dasar pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah adalah :
  1. Akta Jual Beli
  2. Akta Tukar Menukar
  3. Akta Hibah
  4. Akta Pemasukan ke Dalam Perusahaan
  5. Akta Pembagian Hak Bersama
  6. Akta Pemberian Hak Tanggungan
  7. Akta Pemberian Hak Guna Bangunan atas Tanah Hak Milik
  8. Akta Pemberian Hak Pakai atas Tanah Hak Milik
b. Selain itu, akta-akta sebagaimana dimaksud pada ayat 1 PPAT juga membuat surat kuasa membebankan hak tanggungan yang merupakan akta pemberian kuasa yang dipergunakan dalam pembuatan akta pemberian hak tanggungan.

Ketentuan di atas berbeda dengan ketentuan dalam Pasal 24 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997. Dari aturan dalam Peraturan Menteri Negara tersebut dapat dilihat adanya keharusan untuk melakukan segala perbuatan hukum yang berkenaan dengan tanmah harus dibuat oleh dan di hadapan pejabat pembuat akta tanah. Ketentuan ini bersifat mengikat dan mengandung konsekuensi hukum bahwa suatu transaksi dengan objek berupa tanah apabila dilaksanakan di bawah tangan, terancam batal, sebab bertentangan dengan peraturan yang mengharuskan setiap transaksi dibuat oleh dan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah.

Dalam hukum, berlaku asas aturan yang lebih tinggi mengesampingkan yang lebih rendah. Jika berdasarkan asas ini maka izin untuk menggunakan akta di bawah tangan untuk digunakan sebagai alas hak dalam penerbitan sertifikat dapat dibenarkan. Namun, dissinkronisasi antara PP No. 24 Tahun 1997 dengan Keputusan Menteri Negara Agraria berimplikasi pada ketidakpastian bagi masyarakat. Multiinterpretasi dapat terjadi dengan adanya perbedaan antara keduanya.

Dis-sinkronisasi antara kedua peraturan tersebut berimplikasi pula pada kinerja Badan Pertanahan dalam upaya mewujudkan tertib pertanahan di Indonesia. Kesimpangsiuran dalam melakukan interpretasi dapat menimbulkan keraguan pada kewibawaan Badan Pertanahan sebagai instansi yang berwenang untuk melakukan pengaturan atas tanah yang ada. Hal ini merupakan satu penyimpangan terhadap upaya mewujudkan tujuan hukum sekaligus merupakan pemicu kerusakan sistem hukum yang ada

Terwujudnya kepatian hukum dalam pendaftaran tanah tidak lepas dari faktor kekurangan dalam substansi aturan pertanahan, dissinkonisasi peraturan yang ada. Secara normatif, kepastian hukum memerlukan tersedianya perangkat aturan perundang-undangan yang secara operasional mampu mendukung pelaksanaannya. Secara empiris, keberadan peraturan-peraturan itu dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen oleh sumber daya manusia pendukungnya.

Tujuan hukum bukan hanya keadilan tetapi juga kepastian hukum dan kemanfaatan. Pemenuhan keadilan dalam suatu peraturan perundang-undangan belum cukup karena masih memerlukan syarat kepastian hukum. Kepastian hukum akan tercapai bila suatu peraturan dirumuskan secara jelas sehingga tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda serta tidak terjadi tumpang tindih antara peraturan yang ada, baik secara vertikal maupun horizontal. Mewujudkan sistem hukum yang baik akan mejadi sebuah hal yang sulit jika substansi aturan yang mendasarinya pun terdapat kesimpangsiuran akibat ketidaksinkronan aturan yang ada.
Salah satu pihak yang sangat berperan dalam pembuatan akta otentik adalah Pejabat Pembuat Akta Tanah. Pejabat Pembuat Akta Tanah merupakan pejabat umum di mana dalam pelaksanaan tugasnya berkewajiban untuk mendaftarkan segala akta yang dibuatnya pada kantor pertanahan sejak penandatanganan. Pejabat Pembuat Akta Tanah sangat membantu Kepala Kantor Pertanahan untuk mencapai tertib pertanahan.

Data fisik dan data yuridis yang dilaporkan secara bulanan oleh PPAT mendukung upaya pemerintah untuk mneyediakan informasi kepada masyarakat. Hal inilah yang membedakan antara akta yang dibuat oleh dan dihadapan PPAT dengan akta di bawah tangan. Kontrol terhadap kebenaran alat bukti di bawah tangan sangat rentan dengan kekeliruan sedangkan untuk akta autentik, pihak BPN dapat lebih menjamin kebenaran data fisik dan yuridis yang dinyatakan di dalamnya.

Menurut pendapat penulis, berbicara tentang keabsahan surat di bawah tangan sangat berkaitan dengan masalah kekuatan hukum dari surat di bawah tangan. Berdasarkan doktrin dan yurisprudensi yang ada, surat di bawah tangan tidak memiliki kekuatan hukum. Namun demikian, surat di bawah tangan tetap dapat dijadikan sebagai alat bukti, dan hal ini tentu saja terkait dengan masalah tanda tangan dan kesaksian dalam surat tersebut.

Keberadaan surat di bawah tangan sebagai dasar dalam penerbitan Sertifikat Hak Milik tetap diakui dalam peraturan-Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, meskipun surat di bawah tangan tidak memiliki kekuatan hukum. Untuk dapat dijadikan sebagai alas hak dalam penerbitan Sertifikat Hak Milik dan dapat memiliki kekuatan pembuktian maka surat di bawah tangan tersebut harus memenuhi prosedur dan persyaratan yang ditentukan dalam Pasal 24 Ayat (2) PP No. 24 Tahun 1997 yang menetapkan bahwa dalam hal tidak ada lagi tersedia secara lengkap alat-alat pembuktian yang berdasarkan pembuktian, pembukuan hak dapat dilakukan kenyataan penguasaan fisik bidang tanah yang bersangkutan selama 20 tahun atau lebih secara berturut-turut oleh pemohon pendaftaran dari pendahulu-pendahulunya dengan syarat:
  1. Penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka oleh yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah serta diperkuat oleh Kesaksian oleh orang yang dapat dipercaya.
  2. Penguasaan tersebut baik sebelum maupun selama pengumuman tidak dipermasalahkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan atau pihak lainnya.
  3. Keterangan dari sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi yang kesaksiannya dapat dipercaya, karena fungsinya sebagai orang tertua adat setempat dan atau penduduk yang sudah lama bertempat tinggal di desa/kelurahan letak tanah yang bersangkutan dan tidak mempunyau hubungan keluarga dengan yang bersangkutan sampai derajat kedua baik dalam kekerabatan vertikal maupun horizontal.
  4. Kesaksian dari Kepala Kelurajan/Kepala Desa.Surat pernyataan penguasaan secara fisik yang dibuatkan oleh pemohon pendaftaran tanah antara lain berisi :
  • Bahwa fisik tanahnya secara nyata dikuasai dan digunakan sendiri oleh pihak yang mengaku atau secara nyata tidak dikuasai tetapi digunakan pihak lain secara sewa atau bagi hasil atau dengan bentuk hubungan perdata lainnya.
  • Bahwa tanahnya sedang/tidak dalam keadaan sengketa.
  • Bahwa apabila penandatanganan memalsukan isi surat pernyataan, bersedia dituntut di muka hakim secara pidana maupun perdata karena memberikan keterangan palsu.
Jadi, jika seluruh syarat bagi sebuah surat di bawah tangan telah dipenuhi untuk dapat dijadikan dasar dalam penerbitan sertifikat hak milik berdasarkan Peraturan Pemerintah no. 24 tahun 1997 adalah maka surat di bawah tangan tersebut dapat dijadikan sebagai dasar penerbitan sertifikat dan memiliki kekuatan pembuktian.

Dalam kenyataan yang ditemukan oleh peneliti, meskipun persyaratan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 telah dipenuhi, akan tetapi banyak persoalan yang tetap timbul sehubungan dengan penggunaan surat di bawah tangan sebagai dasar penerbitan Sertifikat Hak Milik. Beberapa persoalan yang pada Kantor Pertanahan adalah sebagai berikut :
  1. Dalam proses pendaftaran tanah secara massal, pihak Kantor Lurah atau kantor Desa biasanya membantu mengkoordinir pelaksanaan di lapangan termasuk dalam hal pembuatan surat-surat tanah bagi masyarakat yang belum memiliki surat tanah. Oleh karena waktu yang singkat dengan jumlah pemohon yang banyak maka pihak Kantor Kelurahan atau Kantor Desa hanya sekedar menandatangani tanpa mempelajari kebenaran surat tanah yang diajukan, bahkan untuk seluruh masyarakat, surat tanah mereka ditandatangi saksi yang sama yaitu 2 (dua) orang dari aparat desa atau kelurahan. Kebenaran surat tanah ini menjadi sulit untuk dijamin karena proses yang cepat dan tidak teliti.
  2. Masih sehubungan dengan proses pembuatan surat tanah di Kantor Kelurahan atau Desa, pada saat sebuah surat tanah menjadi perkara di Pengadilan, Kepala Kelurahan atau kepala Desa yang menandatangani sering menggunakan dalih bahwa merka tidak mengetahui riwayat tanah tersebut karena mereka adalah kepala Kelurahan atau Kepala Desa yang baru menjabat selama 3 (tiga) bulan. Kondisi ini mengindikasikan bahwa jaminan kepastian hukum atas tanah dengan alas hak di bawah tangan tersebut tidak ada, karena Pejabat yang menandatanganinya beserta para aparatnya yang turut bersaksi dalam surat ternyata tidak mengetahui riwayat tanah yang mereka persaksikan.
  3. Kondisi selanjutnya yang terjadi di kantor Keluruhan atau kantor Desa adalah tidak ada buku tanah desa yang menjadi catatan atau pengadministrasian terhadap setiap peralihan tanah yang terjadi shingga sangat wajar, jika kepala desa atau kepala kelurahan yang baru tidak mengetahui riwayat tanah yang sebenarnya.
  4. Kondisi fatal yang terjadi pula sehubungan dengan pembuatan surat tanah oleh pihak Kantor Kelurahan atau Kantor desa adalah seringnya muncul 2 (dua) surat tanah yang berbeda untuk tanah yang sama namun ditandatangani oleh Kepala Desa yang sama.
Dari uraian di atas dihubungkan dengan keberadaan surat di bawah tangan sebagai salah satu pembuktian hak lama maka alas hak dalam penerbitan sertifikat pada pendafataran tanah berupa surat di bawah tangan dapat menimbulkan ketidakpastian bagi pemegang hak. Munculnya beragam interpretasi tentang keabsahan sebuah surat di bawah tangan yang menyebabkan lahirnya Putusan Hakim yang berbeda-beda merupakan salah satu bukti bahwa peralihan dengan menggunakan surat di bawah tangan yang dijadikan sebagai alas hak dalam pendaftaran tanah tidak memberikan jaminan kepastian hukum bagi para pemilik tanah.

Kondisi-kondisi di atas tentu saja akan sangat menyulitkan masyarakat ketika suatu saat ada pihak lain yang mengklaim tanah yang mereka miliki. Keadaan lain yang terjadi adalah beberapa anggota masyarakat ternyata telah kehilangan tanah mereka tanpa mereka ketahui dan pada saat mereka mengajukan upaya penyelesaian, ternyata mereka tidak memiliki daya apa-apa karena surat tanah yang mereka miliki harus gugur karena pihak lain memiliki bukti berupa akta autentik.

Mencermati uraian-uraian di atas sehubungan dengan penggunaan surat di bawah tangan sebagai dasar penerbitan sertfikat hak milik, penulis berpendapat bahwa surat di bawah tangan tidak memiliki kekuatan hukum namun tetap dapat digunakan sebagai dasar penerbitan Sertifikat Hak Milik sepanjang data yang diterangkan di dalamnya mengandung kebenaran dan diketahui oleh minimal 2 (dua) orang saksi bersama Kepala Kelurahan atau Kepala Desa sebagai pihak yang dianggap mengetahui riwayat tanah pada Kelurahan atau desa tempat mereka menjabat. Namun demikian, surat di bawah tangan ini tidak bisa memberikan jaminan kepastian hukum kepada para pemegang sertifikat karena dalam kenyataannya di Pengadilan, para hakim memiliki interpretasi yang berbeda mengenai keabsahan surat di bawah tangan.

Untuk mengantisipasi munculnya masalah dalam penggunaan surat di bawa tangan sebagai dasar penerbitan sertifikat, maka dalam proses pembuatan surat tanah di bawah tangan, seluruh pihak yang terkait seharusnya mengutamakan ketelitian dan kecermatan serta kehati-hatian agar tidak menyebabkan ketidakpastian bagi para pemilik sertifikat ataupuyn pemilik tanah yang sebenarnya (jika ternyata sertifikat diterbitkan kepada pihak yang tidak berhak).
Sertifikat Tanah

Surat Di Bawah Tangan Sebagai Dasar Penerbitan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah

Posted by Andi Sufiarma  |  No comments

Oleh : Andi Sufiarma, S.H., M.H.
Kantor Pertanahan Kabupaten Maros

Pokok-pokok pikiran yang tercantum di dalam Pasal 33 menekankan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada seluruh rakyat Indonesia, merupakan pokok-pokok kemakmuran rakyat yang dikuasai oleh Negara dan ditujukan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia. Bertitik tolak dari pasal tersebut di atas, maka jelaslah bahwa negara dianggap bukan sebagai pemilik tanah dalam suatu wilayah negara, tetapi kewenangan negara untuk menguasai tanah tersebut semata-mata kepentingan masyarakat banyak.

Upaya pemerintah untuk memberikan suatu bentuk jaminan akan adanya kepastian hukum atas kepemilikan tanah bagi seseorang adalah dengan dilakukannya suatu pendaftaran hak atas tanah yang tertuang dalam Pasal 19 Undang-undang Pokok Agraria. Oleh karena itu, untuk pelaksanaan pendaftaran tanah sebagaimana maksud Pasal 19 ayat (1) Undang-undang Pokok Agraria (UUPA), maka Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah (selanjutnya disebut dengan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961).

Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tersebut membuka sejarah baru dalam hukum agraria. Sebab, untuk pertama kali Indonesia mempunyai suatu lembaga yang secara khusus mengatur tentang pelaksanaan pendaftaran tanah (Parlindungan, 1990:1). Namun lebih kurang 36 tahun setelah berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 ternyata upaya pemerintah dalam memberikan jaminan kepastian hukum atas tanah belum optimal, sehingga pemerintah merasa perlu untuk menyempurnakan dan menggantikan dengan suatu peraturan baru sehingga eksistensi Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 sudah direvisi atau dilakukan pengkajian ulang dari persoalan yang sangat mendasar.

Upaya dari perubahan tersebut dilakukan Pemerintah dengan dikeluarkannya suatu peraturan baru yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yang berlaku tgl 8 Oktober 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 merupakan realisasi Pemerintah dalam melakukan penyederhanaan pola pendaftaran tanah di Indonesia. Tujuan pembentukan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 adalah :
  1. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan
  2. Untuk menyediakan informasi kepada pihak yang berkepentingan agar mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum
  3. Untuk menyelenggarakan catur tertib pertanahan.


Dalam peraturan pemerintah tersebut ditentukan bahwa pendaftaran tanah diselenggarakan untuk memberikan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan dan bahwa sistem publikasinya adalah negatif tetapi mengandung unsur positif. Pendaftaran tanah dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 ini menggunakan 2 sistem yaitu :

  1. Sistem sistematik yang meliputi wilayah satu desa atau kelurahan yang dilakukan atas prakarsa pemerintah.
  2. Sistem sporadik yaitu pendaftaran mengenai bidang-bidang tanah atas permintaan pemegang hak yang bersangkutan baik secara individual maupun massal.

Daya pembuktian sertifikat tidak bisa dilepaskan dari kewenangan Pejabat Tata usaha Negara, yakni Kepala Badan Pertanahan Nasional/Kantor Pertanahan yang telah menempatkan tanda tanganya pada sertifikat yang tentunya dapat dipercaya oleh orang yang namanya tercantum dalam sertifikat tersebut. Di dalam daya pembuktian terdapat daya pembuktian formal dan daya pembuktian materil. Daya pembuktian materil, isi keterangan berlaku sebagai kebenaran buat siapapun dan orang yang namanya tercantum dalam sertifikat untuk kemanfaatannya, untuk keperluan siapa keterangan itu diberikan. Sedangkan daya pembuktian formil Kepala Kepala Badan Pertanahan Nasional/Kantor Pertanahan menerangkan apa yang berada di atas tanda tangannya dan orang yang tercantum dalam sertifikat benar-benar pemiliknya.

Kekuatan pembuktian sertifikat tidak lepas dari alas hak untuk penerbitan sertifikat tersebut. Dalam Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, salah satu alas hak yang diperkenankan selain akta autentik adalah surat di bawah tangan. Diperkenankannya surat di bawah tangan sebagai alas hak dalam penerbitan sertifikat saat ini banyak dilakukan untuk pendaftaran tanah pertama kali (bagi tanah-tanah yang belum terdaftar).

Dalam kenyataan yang ada, tidak jarang alas hak berupa surat di bawah tangan ini menimbulkan masalah di kemudian hari. Salah satunya adalah munculnya dua pihak yang mengaku sebagai pemilik atas tanah yang telah didaftarkan tersebut. Bahkan tidak jarang terjadi dalam proyek yang dilakukan oleh kantor pertanahan, 1 (satu) bidang tanah dikuasai oleh dua orang yang berbeda dengan alas hak yang berbeda tetapi ditandatangani oleh Kepala Kelurahan/Kepala Desa yang sama sehingga proses penerbitan menjadi terhambat. Dari uraian di atas terlihat bahwa surat di bawah tangan sebagai alas hak dalam penerbitan sertifikat khususnya sertifikat hak milik tidak lepas dari berbagai masalah .

Pendaftaran tanah pada hakikatnya bertujuan untuk memberikan kepastian hak kepada pemilik tanah. Terbitnya sertifikat merupakan pemberi rasa aman kepada pemilik tanah akan haknya pada tanah tersebut. Dalam rangka memberikan kepastian hukum kepada para pemegang hak atas tanah maka sertifikat tanah berfungsi sebagai pembuktian yang kuat. Sertifikat tanah merupakan tanda bukti yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya sepanjang data tersebut sesuai dengan data yang terdapat di dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan.

Salah satu masalah yang berkaitan erat dengan kepastian hukum dalam pendaftaran tanah adalah masalah pembuktian. Dalam pendaftaran tanah dikenal 2 (dua) pendaftaran hak yaitu :

a. Hak atas tanah baru. Pembuktian hak atas tanah baru dilakukan dengan :
  1. Penetapan pemberian hak dari pejabat yang berwenangmemberikan hak yang bersangkutan menurut ketentuan yang berlaku apabila pemberian hak berasal dari tnah negara atau tanah hak pengelolaan;
  2. Asli akta PPAT yang memuat pemberian hak oleh pemegang hak milik kepada penerima hak yang bersangkutan untuk hak guna bangunan dan hak pakai atas tanah hak milik;
  3. Hak pengelolaan dibuktikan dengan penetapan pemberian hak oleh pejabat yang berwenang;
  4. Tanah wakaf yang dibuktikan dengan akta ikrar wakaf;
  5. Hak milik atas satuan rumah susun yang dibuktikan dengan akta pemisahan;
  6. Pemberian Hak Tanggungan dibuktikan dengan akta pemberian Hak Tanggungan.

b. Pembuktian hak lama berdasarkan Pasal 24 PP No. 24 Tahun 1997 yaitu :

  1. Untuk keperluan pendaftaran tanah, hak atas tanah yang berasal dari konversi hak-hak lama dibuktikan dengan alat bukti menganai adanya hak tersebut berupa alat bukti tertulis, keterangan sanksi dan atau pernyataan yang bersangkutan yang kadar kebenarannya dianggap cukup untuk mendaftar hak, pemegang hak dan pihak lain yang membebaninya.
  2. Dalam hal tidak atau tidak lagi tersedia secara lengkap alat pembuktian maka pembuktian dapat dilakukan berdasarkan pentaanya penguasaan fisik tanah yang bersangkutan selama 20 tahun atau lebih secara berturut-turut oleh pemohon pendaftaran dan pendahulu-pendahulunya.
Dalam Pasal 60 PP No. 24 Tahun 1997 terdapat beberapa alat bukti tertulis yang dapat digunakan bagi pendaftaran hak-hak lama dan merupakan dokumen yang lengkap untuk kepentingan pendaftaran tanah adalah grosse akta hak eigendom, surat tanda bukti hak milik yang diterbitkan berdasarkan peraturan swapraja yang bersangkutan, sertifikat hak milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Menteri No. 9 Tahun 1959, surat keputusan pemberian hak milik dari pejabat yang berwenang baik sebelum atau sejak berlakunya UUPA, petuk Pajak Bumi sebelum berlakunya PP No, 10 Tahun 1961, akta pemindahan hak yang dibuat di bawah tangan yang dibubuhi kesaksian oleh Kepala Adat/Kepala Desa/Kelurahan yang dibuat sebelum berlakunya PP No. 24 Tahun 1997 dengan disertai alas hak yang dialihkan, akta pemindahan hak yang dibuat oleh PPAT, akta ikrar wakaf, risalah lelah yang dibuat oleh Pejabat Lelang, surat penunjukan atau pembelian kaveling tanah yang diambil pemerintah, surat keterangan riwayat tanah yang dibuat oleh Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan dengan disertai alas hak yang dialihkan.

Dari beberapa alat bukti lama yang dapat digunakan untuk melakukan pendaftaran tanah untuk pertama kali berdasarkan PP No. 24 Tahun 1997 penulis melihat ada 2 alat bukti yang perlu mendapatkan perhatian, yaitu :

1. Alat Bukti Kesaksian

Pembuktian dengan saksi dalam hukum pertanahan dipergunakan sebagai bukti kepemilikan sebidang tanah berupa bukti tertulis yang dimaksud di atas tidak lengkap atau tidak ada, maka pembuktian hak dapat dilakukan dengan pernyataan yang bersangkutan dan keterangan yang dipercaya dari sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi dari lingkungan msyarakat setempat yang tidak mempunyai hubungan keluarga dengan yang bersangkutan sampai derajat kedua baik dalam kekerabatan ke atas maupun ke samping.
Tujuan pendaftaran tanah pada hakikatnya adalah untuk memberikan jaminan kepastian hukum yang bermuara pada perlindungan hukum pemegang hak atas tanah. Dengan demikian, sertifikat tanah merupakan alat bukti yang sangat penting bagi subjek hukum atas tanah sehingga sangat naif sekali jika PP No. 24 Tahun 1997 mensyaratkan alat bukti saksi dalam melakukan proses penerbitan tanah karena menurut penulis alat bukti saksi memiliki bobot yang sangat ringan dan rentan terhadap risiko kekeliruan. Jika sebuah peristiwa telah terjadi dalam waktu yang lama maka tidak jarang terjadi bahwa apa yang terjadi tidak dapat diingat secara keseluruhan.
Untuk memberi kesaksian terhadap peristiwa yang telah lama bukanlah hal yang mudah. Pada umumnya pada waktu penangkapan kejadian, pihak saksi tidak mengarahkan tindakannya untuk menjadi saksi di kemudian hari sehingga pengamatannya pada saat kejadian dapat saja tidak teliti. Penangkapan sebuah peristiwa dan kemudian mengolahnya serta aklhirnya menuturkannya sebagai kesaksian merupakan proses yang dapat mengaburkan kebenaran di kemudian hari.

2. Alat Bukti Di Bawah Tangan

Dalam teori hukum dikenal 2 (dua) jenis akta yaitu akta otentik dan akta di bawah tangan. Akta otentik diatur dalam Pasal 165 HIR, Pasal 1868 BW dan Pasal 285 Rbg. Akta otentik berdasarkan pasal-pasal dalam bebrapa peraturan ini memiliki kekuatan bukti yang sempurna bagi kedua belah pihak, ahli warisnya dan orang-orangyang mendapat hak darinya.
Alat bukti di bawah tangan tidak diatur dalam HIR namun diatur dalam S 1867 No. 29 untuk Jawa dan Madura dan Pasal 286 sampai Pasal 305 Rbg. Akta di bawah tangan diakui dalam KUHPerdata. Dalam Pasal 1320 telah ditentukan syarat sahnya perjanjian. Dilihat dari 4 syarat sah yang dimaksud maka dapat ditafsirkan bahwa suatu akta yang tidak dibuat oleh dan dihadapan PPAT adalah tetap sah sepanjang para pihak telah sepakat dan memenuhi unsur-unsur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Fungsi akta ada 2 yaitu fungsi formal yang menentukan lengkapnya (bukan untuk sahnya) dan fungsi akta sebagai alat bukti di kemudian hari.
Kekuatan pembuktian antara akta otentik dengan akta di bawah tangan memiliki perbedaan. Dilihat dari kekuatan pembuktian lahir di mana sebuah akta autentik ditandatangani oleh pejabat yang berwenang maka beban pembuktian diserahkan kepada yang mempersoalkan keuatentikannya. Sedangkan untuk akta di bawah tangan maka secara lahir akta tersebut sangat berkait dengan tanda tangan. Jika tanda tangan diakui maka akta di bawah tangan memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna. Kekuatan yang dimiliki oleh tanda tangan bukan kekuatan pembuktian lahir yang kuat karena terdapat kemungkinan untuk disangkal.
Kekuatan pembuktian formal pada akta otentik memiliki kepastian hukum karena pejabatlah yang menerangkan kebenaran dari apa yang dilihat, didengar dan dilakukan pejabat, sedangkan untuk akta di bawah tangan maka pengakuan dari pihak yang bertanda tangan menjadi kekuatan pembuktian secara formal.
Sehubungan dengan keabsahan surat di bawah tangan maka peneliti meninjau dari dua hal :
1) Secara umum, di Indonesia terdapat beberapa yurisprudensi yang menegaskan bahwa transaksi yang tidak dilakukan di depan pejabat yang berwenang merupakan transaksi yang tidak sah menurut hukum sehingga para pihak tidak perlu mendapat perlindungan hukum. Yurisprudensi yang dimaksud antara lain Keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 598 K/Sip/1971 tertanggal 18 Desember 1971, Keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 601.K/Sip/1972 tertanggal 14 Maret 1973, Keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 393 K/Sip/1973 tertanggal 11 Juli 1973.
2) Secara khusus dalam aturan-aturn tentang pendaftaran tanah
Dalam Pasal 95 Peraturan Menteri Negara Agraria No. 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah adalah :
a. Akta tanah yang dibuat oleh PPAT untuk dijadikan dasar pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah adalah :
  1. Akta Jual Beli
  2. Akta Tukar Menukar
  3. Akta Hibah
  4. Akta Pemasukan ke Dalam Perusahaan
  5. Akta Pembagian Hak Bersama
  6. Akta Pemberian Hak Tanggungan
  7. Akta Pemberian Hak Guna Bangunan atas Tanah Hak Milik
  8. Akta Pemberian Hak Pakai atas Tanah Hak Milik
b. Selain itu, akta-akta sebagaimana dimaksud pada ayat 1 PPAT juga membuat surat kuasa membebankan hak tanggungan yang merupakan akta pemberian kuasa yang dipergunakan dalam pembuatan akta pemberian hak tanggungan.

Ketentuan di atas berbeda dengan ketentuan dalam Pasal 24 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997. Dari aturan dalam Peraturan Menteri Negara tersebut dapat dilihat adanya keharusan untuk melakukan segala perbuatan hukum yang berkenaan dengan tanmah harus dibuat oleh dan di hadapan pejabat pembuat akta tanah. Ketentuan ini bersifat mengikat dan mengandung konsekuensi hukum bahwa suatu transaksi dengan objek berupa tanah apabila dilaksanakan di bawah tangan, terancam batal, sebab bertentangan dengan peraturan yang mengharuskan setiap transaksi dibuat oleh dan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah.

Dalam hukum, berlaku asas aturan yang lebih tinggi mengesampingkan yang lebih rendah. Jika berdasarkan asas ini maka izin untuk menggunakan akta di bawah tangan untuk digunakan sebagai alas hak dalam penerbitan sertifikat dapat dibenarkan. Namun, dissinkronisasi antara PP No. 24 Tahun 1997 dengan Keputusan Menteri Negara Agraria berimplikasi pada ketidakpastian bagi masyarakat. Multiinterpretasi dapat terjadi dengan adanya perbedaan antara keduanya.

Dis-sinkronisasi antara kedua peraturan tersebut berimplikasi pula pada kinerja Badan Pertanahan dalam upaya mewujudkan tertib pertanahan di Indonesia. Kesimpangsiuran dalam melakukan interpretasi dapat menimbulkan keraguan pada kewibawaan Badan Pertanahan sebagai instansi yang berwenang untuk melakukan pengaturan atas tanah yang ada. Hal ini merupakan satu penyimpangan terhadap upaya mewujudkan tujuan hukum sekaligus merupakan pemicu kerusakan sistem hukum yang ada

Terwujudnya kepatian hukum dalam pendaftaran tanah tidak lepas dari faktor kekurangan dalam substansi aturan pertanahan, dissinkonisasi peraturan yang ada. Secara normatif, kepastian hukum memerlukan tersedianya perangkat aturan perundang-undangan yang secara operasional mampu mendukung pelaksanaannya. Secara empiris, keberadan peraturan-peraturan itu dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen oleh sumber daya manusia pendukungnya.

Tujuan hukum bukan hanya keadilan tetapi juga kepastian hukum dan kemanfaatan. Pemenuhan keadilan dalam suatu peraturan perundang-undangan belum cukup karena masih memerlukan syarat kepastian hukum. Kepastian hukum akan tercapai bila suatu peraturan dirumuskan secara jelas sehingga tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda serta tidak terjadi tumpang tindih antara peraturan yang ada, baik secara vertikal maupun horizontal. Mewujudkan sistem hukum yang baik akan mejadi sebuah hal yang sulit jika substansi aturan yang mendasarinya pun terdapat kesimpangsiuran akibat ketidaksinkronan aturan yang ada.
Salah satu pihak yang sangat berperan dalam pembuatan akta otentik adalah Pejabat Pembuat Akta Tanah. Pejabat Pembuat Akta Tanah merupakan pejabat umum di mana dalam pelaksanaan tugasnya berkewajiban untuk mendaftarkan segala akta yang dibuatnya pada kantor pertanahan sejak penandatanganan. Pejabat Pembuat Akta Tanah sangat membantu Kepala Kantor Pertanahan untuk mencapai tertib pertanahan.

Data fisik dan data yuridis yang dilaporkan secara bulanan oleh PPAT mendukung upaya pemerintah untuk mneyediakan informasi kepada masyarakat. Hal inilah yang membedakan antara akta yang dibuat oleh dan dihadapan PPAT dengan akta di bawah tangan. Kontrol terhadap kebenaran alat bukti di bawah tangan sangat rentan dengan kekeliruan sedangkan untuk akta autentik, pihak BPN dapat lebih menjamin kebenaran data fisik dan yuridis yang dinyatakan di dalamnya.

Menurut pendapat penulis, berbicara tentang keabsahan surat di bawah tangan sangat berkaitan dengan masalah kekuatan hukum dari surat di bawah tangan. Berdasarkan doktrin dan yurisprudensi yang ada, surat di bawah tangan tidak memiliki kekuatan hukum. Namun demikian, surat di bawah tangan tetap dapat dijadikan sebagai alat bukti, dan hal ini tentu saja terkait dengan masalah tanda tangan dan kesaksian dalam surat tersebut.

Keberadaan surat di bawah tangan sebagai dasar dalam penerbitan Sertifikat Hak Milik tetap diakui dalam peraturan-Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, meskipun surat di bawah tangan tidak memiliki kekuatan hukum. Untuk dapat dijadikan sebagai alas hak dalam penerbitan Sertifikat Hak Milik dan dapat memiliki kekuatan pembuktian maka surat di bawah tangan tersebut harus memenuhi prosedur dan persyaratan yang ditentukan dalam Pasal 24 Ayat (2) PP No. 24 Tahun 1997 yang menetapkan bahwa dalam hal tidak ada lagi tersedia secara lengkap alat-alat pembuktian yang berdasarkan pembuktian, pembukuan hak dapat dilakukan kenyataan penguasaan fisik bidang tanah yang bersangkutan selama 20 tahun atau lebih secara berturut-turut oleh pemohon pendaftaran dari pendahulu-pendahulunya dengan syarat:
  1. Penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka oleh yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah serta diperkuat oleh Kesaksian oleh orang yang dapat dipercaya.
  2. Penguasaan tersebut baik sebelum maupun selama pengumuman tidak dipermasalahkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan atau pihak lainnya.
  3. Keterangan dari sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi yang kesaksiannya dapat dipercaya, karena fungsinya sebagai orang tertua adat setempat dan atau penduduk yang sudah lama bertempat tinggal di desa/kelurahan letak tanah yang bersangkutan dan tidak mempunyau hubungan keluarga dengan yang bersangkutan sampai derajat kedua baik dalam kekerabatan vertikal maupun horizontal.
  4. Kesaksian dari Kepala Kelurajan/Kepala Desa.Surat pernyataan penguasaan secara fisik yang dibuatkan oleh pemohon pendaftaran tanah antara lain berisi :
  • Bahwa fisik tanahnya secara nyata dikuasai dan digunakan sendiri oleh pihak yang mengaku atau secara nyata tidak dikuasai tetapi digunakan pihak lain secara sewa atau bagi hasil atau dengan bentuk hubungan perdata lainnya.
  • Bahwa tanahnya sedang/tidak dalam keadaan sengketa.
  • Bahwa apabila penandatanganan memalsukan isi surat pernyataan, bersedia dituntut di muka hakim secara pidana maupun perdata karena memberikan keterangan palsu.
Jadi, jika seluruh syarat bagi sebuah surat di bawah tangan telah dipenuhi untuk dapat dijadikan dasar dalam penerbitan sertifikat hak milik berdasarkan Peraturan Pemerintah no. 24 tahun 1997 adalah maka surat di bawah tangan tersebut dapat dijadikan sebagai dasar penerbitan sertifikat dan memiliki kekuatan pembuktian.

Dalam kenyataan yang ditemukan oleh peneliti, meskipun persyaratan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 telah dipenuhi, akan tetapi banyak persoalan yang tetap timbul sehubungan dengan penggunaan surat di bawah tangan sebagai dasar penerbitan Sertifikat Hak Milik. Beberapa persoalan yang pada Kantor Pertanahan adalah sebagai berikut :
  1. Dalam proses pendaftaran tanah secara massal, pihak Kantor Lurah atau kantor Desa biasanya membantu mengkoordinir pelaksanaan di lapangan termasuk dalam hal pembuatan surat-surat tanah bagi masyarakat yang belum memiliki surat tanah. Oleh karena waktu yang singkat dengan jumlah pemohon yang banyak maka pihak Kantor Kelurahan atau Kantor Desa hanya sekedar menandatangani tanpa mempelajari kebenaran surat tanah yang diajukan, bahkan untuk seluruh masyarakat, surat tanah mereka ditandatangi saksi yang sama yaitu 2 (dua) orang dari aparat desa atau kelurahan. Kebenaran surat tanah ini menjadi sulit untuk dijamin karena proses yang cepat dan tidak teliti.
  2. Masih sehubungan dengan proses pembuatan surat tanah di Kantor Kelurahan atau Desa, pada saat sebuah surat tanah menjadi perkara di Pengadilan, Kepala Kelurahan atau kepala Desa yang menandatangani sering menggunakan dalih bahwa merka tidak mengetahui riwayat tanah tersebut karena mereka adalah kepala Kelurahan atau Kepala Desa yang baru menjabat selama 3 (tiga) bulan. Kondisi ini mengindikasikan bahwa jaminan kepastian hukum atas tanah dengan alas hak di bawah tangan tersebut tidak ada, karena Pejabat yang menandatanganinya beserta para aparatnya yang turut bersaksi dalam surat ternyata tidak mengetahui riwayat tanah yang mereka persaksikan.
  3. Kondisi selanjutnya yang terjadi di kantor Keluruhan atau kantor Desa adalah tidak ada buku tanah desa yang menjadi catatan atau pengadministrasian terhadap setiap peralihan tanah yang terjadi shingga sangat wajar, jika kepala desa atau kepala kelurahan yang baru tidak mengetahui riwayat tanah yang sebenarnya.
  4. Kondisi fatal yang terjadi pula sehubungan dengan pembuatan surat tanah oleh pihak Kantor Kelurahan atau Kantor desa adalah seringnya muncul 2 (dua) surat tanah yang berbeda untuk tanah yang sama namun ditandatangani oleh Kepala Desa yang sama.
Dari uraian di atas dihubungkan dengan keberadaan surat di bawah tangan sebagai salah satu pembuktian hak lama maka alas hak dalam penerbitan sertifikat pada pendafataran tanah berupa surat di bawah tangan dapat menimbulkan ketidakpastian bagi pemegang hak. Munculnya beragam interpretasi tentang keabsahan sebuah surat di bawah tangan yang menyebabkan lahirnya Putusan Hakim yang berbeda-beda merupakan salah satu bukti bahwa peralihan dengan menggunakan surat di bawah tangan yang dijadikan sebagai alas hak dalam pendaftaran tanah tidak memberikan jaminan kepastian hukum bagi para pemilik tanah.

Kondisi-kondisi di atas tentu saja akan sangat menyulitkan masyarakat ketika suatu saat ada pihak lain yang mengklaim tanah yang mereka miliki. Keadaan lain yang terjadi adalah beberapa anggota masyarakat ternyata telah kehilangan tanah mereka tanpa mereka ketahui dan pada saat mereka mengajukan upaya penyelesaian, ternyata mereka tidak memiliki daya apa-apa karena surat tanah yang mereka miliki harus gugur karena pihak lain memiliki bukti berupa akta autentik.

Mencermati uraian-uraian di atas sehubungan dengan penggunaan surat di bawah tangan sebagai dasar penerbitan sertfikat hak milik, penulis berpendapat bahwa surat di bawah tangan tidak memiliki kekuatan hukum namun tetap dapat digunakan sebagai dasar penerbitan Sertifikat Hak Milik sepanjang data yang diterangkan di dalamnya mengandung kebenaran dan diketahui oleh minimal 2 (dua) orang saksi bersama Kepala Kelurahan atau Kepala Desa sebagai pihak yang dianggap mengetahui riwayat tanah pada Kelurahan atau desa tempat mereka menjabat. Namun demikian, surat di bawah tangan ini tidak bisa memberikan jaminan kepastian hukum kepada para pemegang sertifikat karena dalam kenyataannya di Pengadilan, para hakim memiliki interpretasi yang berbeda mengenai keabsahan surat di bawah tangan.

Untuk mengantisipasi munculnya masalah dalam penggunaan surat di bawa tangan sebagai dasar penerbitan sertifikat, maka dalam proses pembuatan surat tanah di bawah tangan, seluruh pihak yang terkait seharusnya mengutamakan ketelitian dan kecermatan serta kehati-hatian agar tidak menyebabkan ketidakpastian bagi para pemilik sertifikat ataupuyn pemilik tanah yang sebenarnya (jika ternyata sertifikat diterbitkan kepada pihak yang tidak berhak).

Wednesday, May 05, 2010 Share:

0 comments:

Arsip

Hubungi Kami

Name

Email *

Message *

back to top