Thursday, September 20, 2007

Peran Hak Pakai Dalam Pembangunan

Posted by Andi Sufiarma  |  3 comments

Oleh : Andi Sufiarma Mustamin, SH,MH
KANWIL BPN PROVINSI GORONTALO

Tanah merupakan modal dasar pembangunan, serta faktor penting dalam kehidupan masyarakat yang umumnya menggantungkan kehidupannya pada tanah. Tanah memiliki hubungan yang bersifat abadi dengan Negara dan rakyat. Masalah keagrariaan di Indonesia secara umum telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), yang di dalamnya diatur antara lain sejumlah hak yang dapat dimiliki oleh seseorang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain atas tanah seperti hak milik, hak guna-usaha (HGU), hak guna-bangunan (HGB), hak pakai, hak sewa dan hak-hak lainnya yang akan ditetapkan dengan undang-undang. Dalam penulisan ini, penulis hanya mengadakan pembahasan terhadap hak pakai terutama dikaitkan dengan adanya sejumlah peraturan baru yang mengatur tentang kedudukan hak pakai tersebut. Hak Pakai dalam UUPA pengaturannya dapat ditemui dalam 4 (empat) pasal yaitu pasal 16, pasal 41, pasal 42, dan pasal 43. yang menyatakan bahwa hak pakai merupakan hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya yang bukan perjanjian sewa menyewa atau penjanjian pengolahan tanah.

Ciri yang membedakan hak pakai dengan Hak Milik, HGU, HGB maka hak pakai dapat juga dipunyai oleh orang-orang asing asal ia bertempat tinggal di Indonesia dan badan-badan hukum asing asal memiliki perwakilan di Indonesia. Ini menunjukkan bahwa hak pakai telah ditempatkan sebagai hak yang potensial dalam upaya menunjang pelaksanaan pembangunan.

Dalam perkembangannya pengaturan tentang hak pakai telah mengalami sejumlah perubahan. Bila dalam UUPA hak pakai tidak ditunjuk sebagai obyek hak tanggungan karena dalam ketentuan UUPA tidak diatur bahwa hak pakai itu termasuk hak atas tanah yang wajib didaftar dan karena itu tidak memenuhi syarat publisitas untuk dijadikan jaminan hutang, namun dalam perkembangannya dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Agraria No.1 Tahun 1966, dikatakan bahwa agar hak pakai mudah dipertahankan terhadap gangguan pihak lain, maka hak pakai itu perlu didaftarkan.

Diundangkannya UU Nomor 4 Tahun 1996 (Undang-Undang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah), disingkat UUHT telah memberi wajah baru bagi pengaturan hak pakai di Indonesia. Dalam amanat pasal 51 UUPA, hak atas tanah yang ditunjuk sebagai obyek hak tanggungan adalah Hak Milik, HGU, HGB. Bila dalam UUPA dikatakan bahwa hak pakai tidak dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani hak tanggungan, maka dengan berlakunya UUHT hak pakai dapat digunakan sebagai obyek hak tanggungan asalkan hak pakai tersebut didaftar pada kantor pertanahan.

Satrio (1997:179) mengemukakan bahwa dengan adanya pasal 4 ayat (2) UUHT diberikan suatu ketentuan yang memungkinkan hak pakai dijadikan sebagai obyek hak tanggungan. Ini merupakan suatu ketentuan yang baru karena selama ini belum ada ketentuan yang memungkinkan hak pakai dijadikan sebagai obyek hipotik. Apalagi dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang HGU, HGB dan Hak Pakai Atas Tanah, yang mewajibkan semua hak pakai didaftarkan pada buku tanah kantor pertanahan, ini semakin membuka peluang untuk digunakannya hak pakai sebagai jaminan kredit. Melihat perkembangan pengaturan tentang hak pakai ini apalagi dengan ditempatkannya hak pakai sebagai obyek hak tanggungan mencerminkan bahwa hak pakai dipandang sangat bermanfaat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama bagi masyarakat kecil serta pemberian hak pakai bagi orang asing akan menarik minat pemodal asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia yang akan bermanfaat bagi pembangunan di Indonesia.

Fenomena yang ada di masyarakat adalah seringkali terjadi tindakan penyalahgunaan pemanfaatan hak pakai ini oleh orang asing (bahkan sebelum dikeluarkannya UU dan PP baru tersebut) seperti upaya “penyelundupan hukum” yang dilakukan orang asing dengan cara mengawini warga Negara Indonesia untuk tujuan memperoleh hak pakai atas tanah di Indonesia guna kegiatan usahanya . Kemudian setelah keluarnya UU dan PP baru itupun masih ada upaya pemanfaatan modal yang telah diperoleh dengan memanfaatkan hak pakai sebagai obyek hak tanggungan, dengan menginvestasikan modal itu ke luar negeri, jelas hal ini tidak sesuai dengan amanat dalam pemberian hak pakai itu, yaitu modal yang diperoleh haruslah digunakan untuk menunjang kegiatan pembangunan di Indonesia. Hal seperti itu masih sulit untuk dicegah karena masih kurangnya tindakan pengawasan dari aparat penegak hukum terhadap tindakan-tindakan hukum sehubungan dengan pemanfaatan hak pakai yang tidak sesuai dengan peruntukannya.

Pengaturan status tanah dengan hak pakai yang diatur dalam berbagai peraturan perundangan diharapkan akan berjalan sesuai dengan yang diharapkan terutama dalam upaya penegakan hukum guna mencapai tujuan hukum itu sendiri yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Namun masih harus dilihat dalam perkembangannya agar hak pakai itu dapat digunakan sesuai dengan peruntukkannya sekaligus dijadikan sebagai usaha untuk memenuhi tuntutan pembangunan.

Pembangunan dilaksanakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam rangka menuju masyarakat adil dan makmur. Tanah merupakan salah satu modal dasar dalam melaksanakan pembangunan. Sehingga masalah pertanahan harus mendapat pengaturan tersendiri untuk mencegah timbulnya pembenturan berbagai kepentingan yang dapat menghambat pembangunan.

Pengaturan tentang tanah dalam bentuk pemberian hak-hak atas tanah sesuai dengan ketentuan yang berlaku kepada orang atau badan hukum dalam menjalankan usaha-usaha yang telah direncanakan. Hak pakai sebagai salah satu hak atas tanah yang diberikan pada seseorang atau badan hukum pada mulanya hanya terbatas pada beberapa aspek, namun dalam perkembangannya hak pakai ini juga diperuntukkan untuk usaha-usaha dibidang perbankan, bagi orang asing dan sebagainya.
Terbitnya UU No. 4/1996 yang disebut UUHT telah menentukan suatu konsep baru mengenai obyek hak tanggungan. Dalam pasal 4 ayat (2) ditentukan bahwa selain hak-hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu hak milik, HGU, HGB maka hak pakai atas tanah Negara (HAPTN) yang menurut ketentuan yang berlaku yang wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan dapat juga dibebani hak tanggungan.

Jadi pada prinsipnya obyek hak tanggungan adalah hak atas tanah yang memenuhi dua persyaratan yakni wajib didaftarkan untuk (untuk memenuhi syarat publisitas) dan dapat dipindahtangankan (untuk memudahkan pelaksanaan pembayaran utang yang dijamin pelunasannya.Hal ini seperti yang dikatakan oleh Satrio yang menyebutkan bahwa dengan adanya pasal 4 ayat (2) UUHT, diberikan suatu ketentuan yang memungkinkan hak pakai dijadikan sebagai obyek hak tanggungan. Ini merupakan suatu ketentuan yang baru karena selama ini belum ada ketentuan yang memungkinkan hak pakai dijadikan sebagai obyek hak tanggungan. ( Satrio J, 1997:179).

Pernyataan bahwa hak pakai dapat dijadikan obyek hak tanggungan bukan merupakan perubahan UUPA, melainkan penyesuaian ketentuannya dengan perkembangan hak pakai itu sendiri serta kebutuhan masyarakat. (Harsono, Boedi, 1999:409).
Selain itu hak pakai yang digunakan sebagai jaminan dengan hak tanggungan hanya diberikan untuk hak pakai yang berasal dari Negara. Dalam perkembangannya hak pakai tidak lagi dibedakan atas hak yang diberikan oleh Negara, hak pengelolaan atau hak milik akan tetapi semua hak pakai tersebut wajib didaftar pada kantor pertanahan, dengan demikian PP No. 40/1996 lebih membuka peluang untuk digunakannya hak pakai sebagai jaminan kredit.

Penunjukkan hak pakai atas tanah Negara sebagai obyek hak tanggungan, selain karena telah memenuhi dua syarat yang telah disebutkan sebelumnya di atas, terutama didasari pada tujuan memenuhi kebutuhan masyarakat terutama kalangan menengah ke bawah yang mempunyai tanah dengan hak pakai dan belum mampu untuk meningkatkannya menjadi HGB atau hak milik, sehingga ini akan memberi kesempatan bagi mereka untuk meminjam uang dengan hak pakai atas tanahnya sebagai jaminan.

Dengan dikeluarkannya PP No. 40/1996 pada pasal 43 yang mewajibkan semua hak pakai untuk didaftarkan pada buku tanah kantor pertanahan, maka secara otomatis obyek hak tanggungan tidak lagi dibedakan atas hak pakai dari tanah pemerintah, hak pengelolaan maupun hak milik yang penting hak pakai tersebut didaftar maka dapat digunakan sebagai jaminan kredit.

Selain dalam PP tersebut, status hak pakai yang digunakan sebagai jaminan kredit juga dicantumkan dalam penjelasan umum UU No.4/1996 yang menyebutkan bahwa dengan dikeluarkannya UU ini selain mewujudkan unifikasi hukum tanah nasional, maka hal yang penting adalah bahwa dengan ditunjuknya hak pakai sebagai obyek hak tanggungan, bagi para pemegang haknya yang sebagian besar terdiri dari golongan ekonomi lemah yang tidak berkemampuan untuk mempunyai tanah dengan hak milik atau hak guna bangunan, menjadi terbuka kemungkinan untuk memperoleh kredit yang diperlukan, dengan menggunakan tanah yang dipunyainya sebagai jaminan.

Selain itu hak pakai atas tanah Negara walaupun wajib didaftar tetapi karena sifat yang tidak dapat dipindahtangankan, seperti hak pakai atas nama pemerintah, hak pakai atas nama badan keagamaan dan sosial dan hak pakai atas nama perwakilan Negara asing yang berlakunya tidak ditentukan jangka waktunya dan diberikan selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu, bukan merupakan obyek hak tanggungan.

Dengan ditempatkannya hak pakai sebagai obyek hak tanggungan ini mencerminkan bahwa hak pakai sangat bermanfaat dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam artian bahwa dengan adanya hak pakai sebagai obyek hak tanggungan, maka pemegang hak yang pada umumnya masyarakat kecil dapat memperoleh pinjaman pada lembaga keuangan guna mendapatkan modal bagi peningkatan usaha mereka, dengan demikian maka kesejahteraan masyarakat kecil dapat ditingkatkan pada taraf kesejahteraan yang lebih baik. Kontribusi lain yang dapat dimiliki dengan pemberian hak pakai yakni untuk mencegah terlantarnya suatu bidang tanah. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang berlaku yang melarang orang atau badan hukum yang menelantarkan tanah. Bila ada tanah yang ditelantarkan atau tidak diolah secara produktif sesuai dengan peruntukan yang diberikan maka tanah tersebut tidak akan mendatangkan manfaat, baik bagi pemilik tanah maupun bagi Negara. Oleh karena itu jika terdapat tanah yang ditelantarkan, sebaiknya tanah tersebut diberikan kepada masyarakat yang tidak mempunyai tanah untuk digarap. Kecenderungan ini telah diantisipasi pemerintah dengan dikeluarkannya Kepmen No. 3/1998 yang mengambil/meminta kepada para pemegang hak atas tanah (developer) yang tanahnya belum digunakan diberikan kepada masyarakat untuk digarap atau ditanami dengan tanaman jangka pendek.

Hal lain yang merupakan kemajuan yakni pemberian hak bagi orang asing. Dalam majalah Properti No. 23 tahun 1995, kepala BPN menjelaskan bahwa HPATN (Hak Pakai Atas Tanah Negara) itu dijadikan obyek hak tanggungan adalah dalam rangkaian memberi peluang bagi orang asing untuk memiliki bangunan yang dibangun di atas HPATN. Dengan ditentukannya HPATN dapat dijadikan obyek hak tanggungan, maka orang asing dan badan hukum asing dapat menjadikannya jaminan kredit. Pemberian hak pakai bagi orang asing dimaksudkan sebagai strategi untuk menarik minat investor asing untuk melakukan penanaman modal di Indonesia. Namun oleh Mariam D. Badrulzaman, tidak melihat hal ini sebagai sesuatu yang positif, karena mereka justru diharapkan membawa dana ke Indonesia dengan dan bukan memperoleh dana dengan memanfaatkan tanah milik Negara dan menjaminkannya kepada bank atau pihak ketiga (Badrulzaman, Mariam D, 1997:33).

Bagi orang asing harus memenuhi sejumlah persyaratan untuk dapat menjadi subyek hak pakai, demikian juga dengan mereka yang ingin mengajukan permohonan kredit dengan hak pakai, dimana dalam peraturan perbankan ditetapkan antara lain bahwa orang asing tersebut harus sudah bertempat tinggal di Indonesia dalam jangka waktu tertentu, mempunyai usaha di Indonesia, dan kredit yang bersangkutan dipergunakan untuk kepentingan pembangunan di wilayah Negara Republik Indonesia.

Akhirnya walaupun keberadaan hak pakai dalam perkembangannya telah mengalami kemajuan yang cukup baik terutama dari segi penegasan pengaturannya guna memberi perlindungan hukum bagi masyarakat dan merupakan jaminan kepastian hukum dalam bidang hak-hak atas tanah, namun masih harus dilihat bagaimana wujud nyata pelaksanaannya dalam masyarakat, untuk itu sudah tentu diperlukan peran serta aparat penegak hukum dan masyarakat dalam upaya mendayagunakan hak pakai ini sesuai dengan peruntukannya seperti yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan maupun peraturan pelaksanaannya.

Thursday, September 20, 2007 Share:

3 comments:

Anonymous said...

Good... tulisannya bagus... lanjutkan

Anonymous said...

bu, kalo hak pakai bisa dijaminkan, berarti bisa diperjualbelikan? benar gak?

sintanvtaaaa said...

Bisa iya bisa tidak tergantung status obyek tanah

Arsip

Hubungi Kami

Name

Email *

Message *

back to top