Saturday, September 22, 2007

TESTAMONIUM DE AUDITU

Posted by Andi Sufiarma  |  1 comment

FIA S. AJI
Hukum Acara Perdata dapat disebut juga dengan Hukum Perdata Formil, namun lebih lazim dipergunakan istilah “Hukum Acara Perdata”. Hukum Acara Perdata merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari hukum perdata disebabkan Hukum Acara Perdata adalah ketentuan yangmengatur cara-cara berperkara di depan pengadilan.
Dalam berbagai literatur Hukum Acara Perdata, terdapat berbagai macam definisi Hukum Acara Perdata ini dari para ahli (sarjana), yang satu sama lain merumuskan berbeda-beda, namun pada prinsipnya mengandung tujuan yang sama.
Wirdjono Prodjodikoro (1976 : 43) menyatakan bahwa Hukum Acara Perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan di muka pengadilan dan bagaimana cara pengadilan itu harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan Hukum Perdata.
Sudikno Mertokusumo (1993 : 2), menyatakan bahwa Hukum Acara Perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya Hukum Materiil dengan perantaraan hakim”.
Soepomo (1958 : 4) dalam bukunya “Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri” meskipun tidak memberikan batasan, tetapi dengan menghubungkan tugas hakim, menjelaskan. Dalam peradilan perdata tugas hakim ialah mempertahankan tata hukum perdata, menetapkan apa yang ditetapkan oleh hukum dalam suatu perkara.
Inti dari berbagai definisi (rumusan) Hukum Acara Perdata diatas ini, agakanya tidak berbeda dengan apa yang telah dirumuskan dalam Laporan Hasil Simposium Pembaharuan Hukum Acara Perdata Nasional yang diselenggarakan oleh BPHN Departemen Kehakiman tanggal 21 – 23 tahun 1984 di Yogyakarta, bahwa Hukum Acara Perdata adalah hukum yang mengatur bagaimana caranya untuk menjamin ditegakkannya atau dipertahankannya hukum perdata materiil.
Hukum perdata materiil yang ingin dipertahankan atau ditegakkan dengan Hukum Acara Perdata tersebut meliputi peraturan hukum tertulis dalam bentuk perundang-undangan (seperti BW, WVK, UUPA, Undang-Undang Perkawinan dan sebagainya) dan peraturan hukum yang tidak tertulis berupa Hukum Adat yang hidup dalam masyarakat. Hukum perdata ini harus ditaati oleh setiap orang agar tecipta ketertiban dan ketentraman dalam masyarakat.
Apabila dalam pergaulan hukum di tengah-tengah masyarakat, ada yang melakukan pelanggaran terhadap norma/kaidah Hukum Perdata tersebut, misalnya penjual tidak menyerahkan barang yang dijualnya maka hal itu jelas menimbulkan kerugian terhadap pihak lain. Untuk memulihkan hak perdatapihak lain yang telah dirugikan ini, maka Hukum Perdata Materiil yang telah dilanggar itu harus dipertahankan atau ditegakkan, yaitu dengan cara mempergunakan Hukum Acara Perdata. Jadi pihak lain yang hak perdatanya dirugikan karena pelanggaran terhadap hukum perdata tersebut, tidak boleh memulihkan hak perdatanya itu dengan cara main hakim sendiri, melainkan harus menurut ketantuan yang termuat dalam Hukum Acara Perdata.
Di sisi lain dapat dikatakan, bahwa pelanggaran terhadap Hukum Perdata itu akan menimbulkan perkara perdata, yakni perkara dalam ruang lingkup Hukum Perdata. Cara menyelesaikan perkara perdata ini di dalam negara yang berdasar atas hukum, tidak boleh dengan main hakim sendiri, tetapi harus dengan jalan yang diatur dalam Hukum Acara Perdata. Oleh karena itu dapat juga dikatakan, bahwa yang dimaksud dengan Hukum Acara Perdata adalah peraturan hukum yang menentukan bagaimana caranya menyelesaikan perkara perdata melalui badan peradilan.
Seluk beluk bagaimana caranya menyelesaikan perkara perdata melalui badan peradilan, semuanya diatur dalam Hukum Acara Perdata. Dengan adanya Hukum Acara Perdata masyarakat merasa adanya kepastian hukum, bahwa setiap orang dapat mempertahankan hak perdatanya dengan sebaik-baiknya, dan setiap orang yang melakukan pelanggaran terhadap Hukum Perdata yang menyebabkan kerugian terhadap orang lain dapat dituntut melalui pengadilan. Dengan Hukum Acara Perdata diharapkan tercipta ketertiban dan kepastian hukum (perdata) dalam masyarakat.
Untuk dapat mencapai apa yang menjadi tujuan Hukum Acara Perdata sebagaimana disebutkan diatas ini, maka pada umumnya peratutan-peraturan Hukum Acara Perdata bersifat mengatur dan memaksa. karena dianggap menyelenggarakan kepentingan umum, sehingga peraturan Hukum Acara Perdata yang bersifat mengatur dan memaksa ini tidak dapat dikesampingkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dan pihak-pihak yang berkepentingan mau tidak mau harus tunduk dan mentaatinya. Meskipun demikian ada juga bagian dari Hukum Acara Perdata yang bersifat pelengkap, karena dianggap mengatur penyelenggaraan kepentingan khusus dari yang bersangkutan, sehingga peraturan Hukum Acara Perdata yang bersifat pelengkap ini dapat dikesampingkan atau disampingi oleh pihak-pihak yang berkepentingan, misalnya mengenai alat-alat bukti yang dipergunakan untuk pembuktian suatu perkara, pihak-pihak yang berkepentingan dapat mengadakan perjanjian yang menetapkan bagi mereka hanya dapat mempergunakan satu alat bukti saja misalnya tulisan, dan pembuktian dengan alat bukti lain yang diperkenankan. Perjanjian yang mengatur tentang pembuktian yang berlaku bagi orang-orang yang mengadakan perjanjian tersebut dinamakan “Perjanjian Pembuktian”, yang menurut hukum memang dibolehkan dalam batas-batas tertentu.
Dalam proses peradilan perkara perdata dikenal adanya Testimonium de auditu yaitu keterangan saksi yang diperolehnya dari pihak lain yang melihat dan mengetahui adanya suatu peristiwa namun pihak yang mengetahui tersebut tidak bersaksi di pengadilan melainkan menceritakan pengetahuannya kepada saksi. Misalnya, pihak ketiga mengetahui secara langsung bahwa kedua belah pihak yang berperkara pernah mengadakan perjanjian hutang piutang. Kemudian pihak ketiga ini menceritakan pengetahuannya kepada saksi. Di persidangan saksi memberikan kesaksian bahwa ia mendengar dari pihak ketiga bahwa telah terjadi perjanjian utang piutang antara kedua belah pihak.
Hal yang penting diketahui sehubungan dengan kesaksian Testamonium de Auditu adalah kekuatan pembuktian keterangan tersebut. Untuk mengetahui kekuatan pembuktiannya maka hal yang harus diperhatikan adalah Pasal 171 ayat (2) HIR/Pasal 308 ayat (2) Rbg/1907 BW sebagai sumber hukum perdata di Indonesia. Dalam ketentuan tersebut disebutkan bahwa keterangan yang diberikan oleh saksi haruslah tentang peristiwa atau sesuatu yang dilihat sendiri, didengar sendiri atau dialami sendiri. Lagi pula setiap kesaksian harus disertai alasan-alasan apa sebabnya dan bagaimana sehingga peristiwa atau sesuatu yang diterangkannya.
Pendapat atau dugaan yang diperoleh karena berpikir bukanlah merupakan kesaksian (). Demikian juga kesaksian yang didengar dari orang lain yang disebut testimonium de auditu tersebut jika didasarkan pada Pasal 171 ayat (2) HIR/Pasal 308 ayat (2) Rbg/1907 BW bukan merupakan alat bukti dan tidak perlu dipertimbangkan (Mahkamah Agung tgl 15-03-1972 No. 547 K/Sip/1971 tanggal 05-05-1971 No. 803 K/Sip/1970). tapi dalam putusan tanggal 11 November 1959 No. 308 K/Sip/1959 Mahkamah Agung menyatakan bahwa meskipun testimonium de auditu tidak dapat digunakan sebagai alat bukti langsung namun penggunaaannya tidak dilarang sebagai persangkaan.
Pada umumnya, testimonium de auditu tidak diperkenankan karena tidak berhubungan dengan peristiwa yang dialami sendiri. Namun, hakim tetap dapat bebas untuk memberikan pendapat bahwa keterangan saksi yang diperoleh dari pihak ketiga dapat dianggap sebagai persangkaan.

Saturday, September 22, 2007 Share:

Arsip

Hubungi Kami

Name

Email *

Message *

back to top