Friday, September 21, 2007

URGENSI PENEMUAN HUKUM DI INDONESIA

Posted by Andi Sufiarma  |  1 comment

By. Andi Maulana Mustamin, S.H.,M.H
(Alumni Pascasarjana UNHAS)
Seorang tokoh bernama Montesqieu memperlihatkan aspek tertentu tentang fungsi hakim dimana disatu waktu merupakan pengeras suara dari undang-undang dan dilain waktu menterjemahkan undang-undang atau dalam keadaan dimana tidak terdapat kriterium konkrit menurut undang-undang maka hakim tidak dapat melakukan hal kecuali memutus menurut keyakinan hukumnya, ( John Z. Leudoe, 1987 :155).
Baik sebagai pengeras suara dari undang-undang maupun sebagai penterjemah atau penemu hukum merupakan aspek yang sangat penting dari seorang hakim. Memang, pada umumnya kita memiliki undang-undang yang jelas dan cermat sehingga dalam penerapannya kita tidak mengalami kesulitan akan tetapi kadang kala kita dikonfrontasi dengan situasi luar biasa sehingga memaksa hakim untuk berpikir dan melakukan penemuan hukum. Undang-undang mengenai titik taut dalam hukum perikatan , misalnya. Pada umumnya dalam sengketa, titik taut menjadi tidak jelas sehingga tidak mungkin dapat diberikan putusan seketika sehingga dalam keadaan tersebut dibutuhkan peran aktif dari hakim dalam memikirkan putusannya.
Penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim bukan tanpa fungsi akan tetapi untuk memperoleh putusan yang diharapkan memuaskan para pihak, bukan saja untuk hal yang konkrit akan tetapi juga untuk hal yang akan datang demi perkembangan hukum. Penemuan hukum bukan hanya untuk menanyakan apa yang dikatakan undang-undang tetapi juga mengharapkan jawaban untuk digunakan.
Sebuah ungkapan yang sering didengar dalam dunia hukum di indonesia, yaitu hukum tertatih-tatih mengikuti perkembangan zaman. Tertatih-tatihnya hukum ini tentu saja akan sangat fatal bagi perkembangan hukum karena hal ini akan berakibat pada ketidakmampuan hukum untuk menjalankan salah satu fungsinya yaitu sebagai control sosial dan sebaga alat rekayasa sosial.
Berbicara hukum sebenarnya kita sedang berbicara sesuatu yang lebih luas, bukan sekedar berbicara tentang Undang-undang. Pembicaraan tentang hukum yang selalu diidentikkan dengan undang-undang akan melahirkan kestatisan dalam hukum. Undang-undang tidak sempurna, karena tidak mungkin undang-undang dapat mengatur segala kehidupan manusia secara tuntas. Sehingga adakalanya undang-undang tidak jelas atau bahkan tidak lengkap.Dalam hal terjadi pelanggaran hukum, seorang hakim tidak boleh menolak atau menagguhkan menjatuhkan putusan dengan alasan hukumnya tidak jelas atau tidak ada.
Suatu contoh dalam realitas saat ini adalah teknologi internet. Begitu banyak kejahatan yang dapat terjadi melalui media ini. Ketika kejahatan tersebut terjadi, jika para hakim hanya mendasarkan putusan pada undang-undang, maka akan sangat banyak pelaku kejahatan dunia cyber yang akan lepas begitu saja. Dan ini berarti bahwa sebelumnya lahirnya undang-undang tentang cyber telah terjadi kekosongan dalam hukum.Ungkapan bahwa hakim hanya merupakan terompet undang-undang merupakan ungkapan sindiran yang seharusnya memacu para hakim untuk aktif dalam melakukan penemuan. Jangankan, aturan yang belum ada, menafsirkan yang sudah ada pun sebenarnya merupakan hal yang sulit. Berapa banyak penafsiran yang dapat diberikan untuk kata “barang” dalam pasal 362 KUHP. Jika para hakim tidak jeli dalam melakukan penemuan hukum maka alangkah beruntungnya para pencuri yang melakukan pencurian melalui transfer ke dalam rekening, atau kasus-kasus lain yang semakin hari semakin menuntut kreatifitas dari para hakim demi terwujudnya hukum sebagai alat kontrol dan rekayasa sosial sehingga ungkapan tertatih-tatihnya hukum dalam perkembangan masyarakat akan terlupakan(posting by Fia S.Aji)

Friday, September 21, 2007 Share:

1 comments:

Anonymous said...

Anda bukan hanya cantik, tapi juga pintar di...
andymarshof@yahoo.com

Arsip

Hubungi Kami

Name

Email *

Message *

back to top